Jumat, 27 April 2012

-Cerita Cinta Mia-

Hiruk pikuk terdengar riuh di setiap telinga murid-murid yang berlalu-lalang di lorong sekolah. Perasaan gugup bercampur-aduk dengan kecemasan yang berlebihan, mendera ketika pandangan mereka menuju ke arah mading sekolah yang menempelkan pengumuman kelulusan, membuat nafas mereka menderu seiring detak jantung mereka. Teriakan histeris hingga isak tangis menghiasi wajah setiap murid yang namanya tertera dalam pengumuman, yang mengartikan kelulusan mereka mutlak telah diberikan oleh sekolah. Ada beberapa murid yang diam, terpaku linglung, bertanya-tanya, mengapa nama mereka tidak tertera di sana? Pengumuman kelulusan menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian orang, yang mungkin telah berusaha keras mengukir sebuah prestasi di dalam dinding sekolah namun apa boleh buat jika akhirnya mereka kecewa dan kembali menerima kenyataan pahit, mengenyam bangku sekolah untuk setahun lagi.

“Lihat, Mia mendapatkan juara umum,” ucap seorang murid cewek berkepang dua menunjuk mading sekolah, membuat puluhan pasang mata ikut melihat.
“Tidak mungkin!!” teriak gadis berkacamata silinder tebal yang berdiri di belakang kerumunan.
“Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa Mia dapat mengalahkan aku? Semua hanya gurauan, ya gurauan, sebab, sebab aku telah belajar lebih giat dari siapapun yang ada di sini. Mengapa? Mengapa?”
Gadis berkacamata silinder tebal itu berhambur menjauh dari kerumunan, kemudian mengacak-acak rambut hitamnya, berseru dengan keras kekalahan pahit yang baru menimpanya beberapa tahun ini. Posisi kedua membuatnya shock setengah mati, ingin rasanya ia melompat dari lantai empat untuk menebus kekalahannya yang pahit. Ia telah kehilangan semangat, rasa bangga menjadi yang pertama, semuanya karena ia tidak rela, sebab yang mengalahkan dirinya adalah seorang gadis yang dianggapnya tidak pantas untuk meraih gelar kehormatan tersebut, menjadi orang paling pintar di sekolahnya sekarang.

Mia duduk dengan anggun di taman sekolah, merapatkan kakinya, menekan roknya dengan sebelah tangan sedangkan jari-jari tangan yang lain menyisir rambut panjangnya yang lembut, berusaha untuk bertahan dengan angin sepoi yang berhembus menerpa sekujur tubuhnya. Entah mengapa ia merasa ingin menangis, ia sangat menderita, batinnya terasa terbakar, tersayat oleh pilu kesedihan yang mendalam, semua karena pria itu, yang berada untuknya dan selalu melindunginya tanpa ia sadari. Dan sekarang betapa ia ingin melihat pria itu sekali lagi, orang yang telah ia sia-siakan dan konsekuensinya ia akan menderita sepanjang hidupnya. Tiba-tiba kenangan itu muncul menghampiri Mia tanpa ia bisa mengelak, dan sekali lagi ia kembali terlarut dalam pusaran kejadian masa lalu.

Two Years Ago

Langit sedang benderang, terik memanasi bumi seperti kompor gas yang siap meledak kapan saja, tapi itu tidak terlalu berlebihan, jika dipikir-pikir lagi semua akibat ulah manusia itu sendiri, sombong dan terlanjur manja untuk menghamburkan seisi dunia tanpa memikirkan akibatnya. Jika tidak diimbangi dengan keseriusan untuk menjaganya agar tetap aktif berproduksi, maka ramalan 2012 mungkin akan benar menjadi kenyataan dan kita siap-siap akan menjadi bulan-bulanan dunia di akhir zaman.
Pak Joko sedang bertutur panjang lebar mengenai pelajaran Geografi yang telah dikuasainya dengan matang sejak menjadi guru di sekolah ini, baginya ramalan suku Maya bukan isapan jempol belaka, apalagi didukung dengan berbagai perihal riset ilmiah yang membingungkan, namun seratus persen akurat, maka sudah jelas ia sangat percaya ramalan itu akan menjadi kenyataan.
“Apes deh, hari gini masih ngomongin kiamat, capek dehh,”
“Betul, betul, betul,..”
“Jika kiamat itu datang maka, nasib lagi apes, sebab gue belum kawin..,”
“Huh..huhh..,”
“Pak, yang lain napa, kok tiap kali masuk bahasin 2012, emang rencananya Bapak mau merit tahun segitu?”
“Betul, betul, betul..,”
“Wah..ha..ha,”
“Stopp… sudah anak-anak, tapi jika kita mengerti dan segera mengambil tindakan maka…,”
“Yahh, dilanjutin lagi, capek dehh,”
“Huh..huhh…,”
Keriuhan begitu terasa di kelas Geografi, murid-murid merasa begitu jengkel karna Pak Joko selalu mengungkit masalah 2012 di setiap kelas yang ia berikan, berturut-turut tanpa mengenal bosan dan lelah, beliau begitu bersemangat untuk menceritakan hal-hal yang berbau dengan suku Maya, dan jika diperlukan maka pelajaran tentang yang satu itu akan menemani soal-soal ujian yang bakal dikeluarkan untuk ulangan semester. Bagi murid-murid yang pintar hal itu sangat menjengkelkan, namun bagi murid-murid lain, itu adalah berkah, sebab jawaban itu telah melekat seperti perangko di dalam kepala mereka, dan kenyataannya jawaban untuk soal yang satu ini selalu membantu nilai mereka. Bahkan Pak Joko tak tanggung-tanggung memberikan nilai sempurna jika soal yang satu ini dikerjakan dengan karangan bebas sesuka hati alias diberi penjelasan panjang lebar.

“Tok, tok, tok....”
“Iya, silahkan masuk.”
Sejenak suasana kelas menjadi hening, suara murid-murid itu seperti teredam di dalam kaset pita suara mereka. Wajah mereka tampak terkejut melihat sosok kurus tinggi
memakai kacamata telah berdiri di ambang pintu. Wajah orang itu terlihat sangat pucat, ia tampak lebih tua dari mereka, seperti seorang senior yang kekurangan gizi atau yang sedang didera stress berat, kedua bola matanya tampak suram dan warna hitam disekitar kantong matanya melukiskan dirinya sebagai seorang pesakitan.

“J.J., apakah itu namamu?” tanya Pak Joko saat membaca sepucuk surat yang diserahkan murid itu kepadanya.
Murid itu mengangguk dan kemudian mengikuti Pak Joko ke dalam barisan kursi murid-murid, menunjukkan tempat kosong yang disebelahnya duduk seorang gadis berambut panjang.
“Mia, dia akan duduk bersamamu, kuharap kau bisa membantunya.”
“Nah, kamu bisa duduk di sebelahnya.”
Gadis yang bernama Mia itu tampak sangat tidak tertarik, ia tidak menyahut saat pria itu memanggilnya. Anehnya sepanjang pelajaran hari ini, Mia merasa pria itu terus memperhatikan dirinya, namun ia toh tidak peduli.

Two Weeks Later

Mia merasa ada yang aneh dengan pria itu, sejak ia masuk ke kelas ini, belum sekalipun ia mendengar pria itu meminjam catatan ataupun bertanya mengenai pelajaran sekolah kepadanya. Dan setelah dua minggu ia berada di sini tak seorangpun yang berani mendekatinya, ataupun berteman dengannya. Mia merasakan sesuatu yang miris menyayat kalbunya hari ini, betapa ia telah tega menghiraukan pria itu beberapa minggu ini, tanpa mau bercakap ataupun memandang wajah pria itu, walau hanya sekilas. Sebenarnya Mia merasa ia tidak perlu melakukan apa-apa, sebab jika bertanya mengenai pelajaran sekolah kepadanya, maka ia juga harus angkat tangan karena beberapa bulan ini ia susah untuk berkonsentrasi dalam pelajaran, sering kali ia ketiduran di kelas dan catatannya yang carut marut tak mungkin ia pinjamkan untuk pria itu.
Pria itu tidak datang hari ini, dan tidak seorangpun yang membicarakannya, mereka menganggap dirinya seperti ‘invisible man’ atau manusia yang tak tampak, yang tidak perlu untuk dihiraukan apalagi diajak berbicara seperti layaknya teman. Terkadang mereka melihat pria itu sebagai pesakitan yang harus dijauhi. Mia merasa aneh, melihat sosok pria asing itu tidak berada di sebelahnya hari ini, hatinya bertanya-tanya apakah pria itu telah menyerah dan memutuskan untuk meninggalkan sekolah ini untuk selamanya. Masa bodoh dengan semua itu, pria itu bukan siapa-siapa, ia hanyalah orang asing yang tidak dikenal olehnya.
Lonceng bermain dan murid-murid telah membentuk antrian panjang di kantin, sedang Mia hanya duduk di taman, menyesap minuman botol yang berisi air mineral yang dibawanya dari rumah. Kemudian berhenti minum ketika mendengar sesuatu yang mengejutkan saat Pak Joko berbicara kepada Kepala Sekolah yang duduk tepat di belakang, sambil memunggungi Mia.
“Murid itu, maksudku Jojo, bagaimana keadaannya, Pak? Bukankah ia terlalu mengambil resiko untuk bersekolah padahal ada kanker ganas sedang menggorogoti kepalanya?”
“Mungkin ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, dokter telah angkat tangan dan itu berarti ia tidak akan selamat, hanya mukjizatlah yang dapat menyembuhkan dirinya.”
“Aneh, mengapa ia malah memilih sekolah di sini dan memilih duduk bersama Mia?”
Kedua pria itu berbicara tanpa menyadari Mia telah mendengar semua percakapan mereka. Mia menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan, di sekitar suara yang membisingkan, hanya beberapa kalimat yang dapat ditangkap olehnya. Jojo, kanker dan dirinya. Tanpa berpikir lagi ia berdiri dan berteriak sedikit kencang ke arah kedua pria yang memunggunginya sekarang. Dan mereka berbalik dengan wajah tampak terkejut.
“Apa yang kalian ucapkan? Jojo, siapa pria itu sebenarnya? Apa hubungannya dengan saya?”
“Tenang, Mia. Kami tidak sedang membicarakan siapa-siapa.” terang Pak Joko dibarengi dengan anggukan pelan Pak Kepala Sekolah.
“Tidak, kalian pasti bohong, jelas saya mendengarkan kalian menyebut nama Jojo dan saya. Kumohon bapak dapat memberitahu saya sekarang.”
Setelah berusaha menenangkan Mia yang berteriak, sehingga membuat murid-murid yang berada di sekitar melihat dengan tanda-tanya. Pak Joko dan Kepala Sekolah segera menggiring Mia ke kantor mereka. Tidak ada pilihan lain, mereka memutuskan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, terutama siapa jati diri Jojo sebenarnya.

Mia berlari, terisak keluar dari kantor Kepala Sekolah, setelah menerima penjelasan dari kedua pria itu. Betapa tidak, setelah mendengar semuanya, ia akhirnya menyadari sesuatu, pria asing yang duduk bersamanya sejak dua minggu yang lalu, tidak lain dan tidak bukan adalah Jojo, pria yang sangat ia cintai, cinta pertamanya yang begitu saja raib dari kehidupannya, hingga untuk melupakan pria itu, dirinya memutuskan untuk berpindah sekolah. Dan pria itu sekarang sedang sekarat, menunggu ajal, tapi sebelum itu ia sangat ingin bertemu dengan Mia untuk terakhir kalinya. Mia mungkin sangat menyesal karena selama ini tidak menghiraukan pria itu, jika saat itu ia sadar dan mencoba mencari siapa jati diri pria itu, mungkin semuanya tidak akan begini. Ia akan sangat bahagia menemani pria itu, orang yang sangat ia rindukan dan cintai dengan segenap jiwanya, walau pria itu berada di ujung nafas terakhirnya.

Rintik hujan telah membasahi seluruh jalanan yang tadinya kering kerontang. Mia telah diberi izin keluar sekolah. Ketika di dalam mobil, Mia tidak dapat menahan isak tangis, air matanya mengucur kian deras, jatuh membasahi rok abu-abunya hingga membuat dua lingkaran yang kian merembes lebar. Nafasnya terasa sangat berat. Di ingatannya sekarang berkelebat wajah Jojo yang masih sangat muda, yang sedang tersenyum kepadanya, saat pria itu menolongnya ketika hampir tenggelam di kolam renang, ketika mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Juga saat pria itu memberikan semangat padanya di kejuaraan lari nasional antar sekolah yang menjadi satu-satunya kelihaian Mia, dan saat Mia sedang mengalami kemunduran dalam pendidikannya, pria itu juga yang mengajarinya metode belajar instan yang unik, menghafal pelajaran dengan memakai ikat kepala yang bertuliskan ‘semangat’ sambil menghadap cermin, dan Jojo selalu berkata, “Jika ada orang yang harus memberikanmu semangat, dirinya adalah dirimu sendiri, dan bayanganmu di cermin itu akan menjadi penyemangat dirimu.”

Sesampainya di rumah sakit, Mia segera berlari menuju ke lobi, menanyakan kepada perawat yang sedang bertugas, kamar Jojo yang sedang dirawat. Kemudian setelah berada di pintu kamar Jojo dirawat, Mia hanya berdiri mematung, ia merasa sangat berat untuk bertemu dengannya, ia tidak ingin melihat kondisi pria itu sekarang, melihat puluhan alat bantu sedang terpasang di dadanya, selang-selang yang menjadi penompang hidupnya dan penyakit sialan yang menggerogoti seisi tubuhnya. Ia tidak rela dan marah kepada Jojo karena menghadapi semua itu tanpa dirinya. Namun Mia segera menepis segala perasaan yang menyambanginya, sekarang ia harus memberi pria itu semangat seperti yang pernah dilakukan dulu terhadapnya.
Mia terkejut saat masuk ke dalam ruangan, ketika melihat apa yang menjadi bayangannya tadi tidak menjadi kenyataan, namun ia bisa merasakan penderitaan kedua orang tuanya, yang sedang berdiri di sana, melihat anak semata wayang mereka sedang sekarat, tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Tante, Om,” sapa Mia dan kedua orang tua Jojo segera mengangguk lemah kemudian menyeret langkah mereka keluar dari ruangan, membiarkan Mia dan Jojo berdua di sana, berbicara setelah hampir beberapa tahun lamanya mereka tidak bertemu.
“Mia.”
Pria itu terbaring, lemah dan kini tanpa bantuan alat sedikitpun, ia merasa semua itu tidak penting lagi, ia merasa waktunya akan berakhir sebentar lagi, dan ia tidak akan menyiakan waktu ini begitu saja. Mia menangis, melangkah dengan berat, mendekat, menjatuhkan wajahnya ke dada pria itu, yang menyambutnya dengan hati yang sangat sakit, perasaan yang bercampur aduk, ia meraung dan menangis dengan pilu, seperti seseorang yang tidak ingin merelakan kebahagiaannya terenggut oleh kematian, yang ingin merasakan kembali kenangan di masa lalunya yang indah. Ia terlanjur mencintai Mia dan begitupula sebaliknya.
Jojo didorong dengan kursi roda, menuju ke taman. Hujan rintik itu tidak ada lagi, meninggalkan bau tanah yang basah. Bunga serta rerumputan kini bercahaya, terbilas butiran air hujan yang memantulkan cahaya mentari yang akan segera meredup di hujung senja. Mia membungkuk, memeluk leher Jojo dari belakang, kemudian bersama mereka menatap mentari senja itu dalam diam. Wajah Mia tampak tegang, pucat dan khawatir, tangannya terasa sangat dingin, tapi entah mengapa Jojo dapat memberikan kehangatan ketika ia memeluknya. Detik-detik itu terasa sangat berharga sekaligus menyakitkan, ia merasakan akan kehilangan pria itu sekali lagi, dan kali ini untuk selamanya.
“I love you, Mia,” bisik pria itu ke dalam telinga Mia sebelum nafas terakhir itu memutuskan kebahagiaan mereka. Gadis itu menangis, memeluk Jojo seerat mungkin, dan ia harus siap merelakan pria itu pergi untuk selamanya.

Present Day

Mia membaca surat terakhir yang ditulis Jojo sebelum ia menemui ajalnya. Kemudian merasakan seolah tulisan itu berbicara kepadanya,

“Apa kabar, Mia. Lama kita tidak bertemu. Mungkin dirimu sudah melupakan diriku saat ini. Apakah kamu masih marah? Oh tentu saja, buktinya kamu tidak mau melihatku saat aku memasuki kelasmu waktu itu. Dan tidak menyahut panggilanku saat aku duduk di sebelah bangkumu. Aku tidak tahu bagaimana hatimu sekarang, mungkin dirimu tidak dapat memaafkan diriku, soal pernyataan cintamu yang kutolak mentah-mentah, soal diriku yang berpura-pura tidak menghiraukan dirimu lagi saat itu. Dan ketika diriku tiba-tiba lenyap dari hatimu dan kehidupanmu.
Semua kulakukan bukan untuk menyakitimu, terus terang aku terlanjur cinta padamu, bahkan saat pertama kali kita jumpa, mungkin kamu sudah tidak mengingatnya, bocah kecil yang terjatuh saat berlari dan kemudian kamu mengendongnya seperti anak cewek tomboy ke dalam ruang kesehatan. Sejak itu aku telah memutuskan untuk membalas kebaikan hatimu dan Tuhan mengizinkan aku untuk menolongmu saat dirimu hampir tenggelam di dalam kolam renang. Dan kita mulai berteman sejak saat itu.
Aku mencintaimu, tentu saja, jika dirimu tidak percaya maka kamu bisa mempercayai-Nya, seperti diriku mempercayai-Nya, namun aku tidak akan menyatakan perasaanku padamu jika pernyataan itu akan berhujung pada penyesalan atas penderitaan dan hilangnya kebahagiaanmu.
Ya, penyakit sialan ini telah menjalariku sejak kecil, walau tidak begitu kelihatan di awal mulanya, tapi perlahan namun pasti usiaku akan berakhir di usia mudaku yang tidak bakal lama lagi. Pernyataan cintamu sungguh membuatku terharu sekaligus miris, terharu karena dirimu begitu mencintaiku, begitu juga sebaliknya, dan miris karena cintamu bukan diperuntukan bagiku. Aku berusaha untuk tidak menghalangi kebahagianmu, walau hatiku sakit namun kuputuskan untuk meninggalkan kehidupanmu untuk selamanya. Dan membawa kenangan kita untuk kupendam dalam perjalananku menuju ajal.
Namun penyesalan rupanya selalu datangnya terlambat, aku menyadari menghabiskan sisa hidupku denganmu mungkin dapat memperpanjang usiaku, aku bahkan harus menjadi orang yang lebih egois, mempertahankan dirimu untukku. Dan ketika dirimu melepaskan tanganku maka aku akan rela, pergi untuk selamanya.
Tapi aku tidak melakukannya, tidak berani, seperti seorang pengecut diriku terus bersembunyi melawan takdir. Dan sejak kematian terasa begitu dekat, akhirnya diriku memutuskan untuk bertemu lagi denganmu, untuk yang terakhir kali, dan kali ini tetap sama, tanpa kata pisah tentunya.
Jika kamu sudah membaca surat ini, maka aku ingin kamu tetap tegar, kumohon maafkan aku.”
“Bagiku, cintamu adalah anugerah yang terindah yang dihadiahkan oleh-Nya.”
“I love you, Mia”

Mia mendekap surat itu erat di dadanya, tidak perduli dengan berita juara umum yang ia dapatkan dengan metode belajar instan unik yang diajarkan Jojo kepadanya. Ketika angin kembali menerpanya ia merasa Jojo telah duduk disampingnya, tersenyum dan tanpa sadar, Mia menempelkan kepalanya di bahu pria itu.
#the and
#NP- http://youtu.be/_GAwRCNyhU8
#cerpen gue bakal d muat d tabloid gaul edisi 16 febuari 2012
created by : chandra maliq
tankz :D