Hiruk pikuk terdengar
riuh di setiap telinga murid-murid yang berlalu-lalang di lorong
sekolah. Perasaan gugup bercampur-aduk dengan kecemasan yang
berlebihan, mendera ketika pandangan mereka menuju ke arah mading
sekolah yang menempelkan pengumuman kelulusan, membuat nafas mereka
menderu seiring detak jantung mereka. Teriakan histeris hingga isak
tangis menghiasi wajah setiap murid yang namanya tertera dalam
pengumuman, yang mengartikan kelulusan mereka mutlak telah diberikan
oleh sekolah. Ada beberapa murid yang diam, terpaku linglung,
bertanya-tanya, mengapa nama mereka tidak tertera di sana? Pengumuman
kelulusan menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian orang, yang
mungkin telah berusaha keras mengukir sebuah prestasi di dalam dinding
sekolah namun apa boleh buat jika akhirnya mereka kecewa dan kembali
menerima kenyataan pahit, mengenyam bangku sekolah untuk setahun lagi.
“Lihat,
Mia mendapatkan juara umum,” ucap seorang murid cewek berkepang dua
menunjuk mading sekolah, membuat puluhan pasang mata ikut melihat.
“Tidak mungkin!!” teriak gadis berkacamata silinder tebal yang berdiri di belakang kerumunan.
“Apa
sebenarnya yang terjadi? Mengapa Mia dapat mengalahkan aku? Semua
hanya gurauan, ya gurauan, sebab, sebab aku telah belajar lebih giat
dari siapapun yang ada di sini. Mengapa? Mengapa?”
Gadis
berkacamata silinder tebal itu berhambur menjauh dari kerumunan,
kemudian mengacak-acak rambut hitamnya, berseru dengan keras kekalahan
pahit yang baru menimpanya beberapa tahun ini. Posisi kedua membuatnya
shock setengah mati, ingin rasanya ia melompat dari lantai empat untuk
menebus kekalahannya yang pahit. Ia telah kehilangan semangat, rasa
bangga menjadi yang pertama, semuanya karena ia tidak rela, sebab yang
mengalahkan dirinya adalah seorang gadis yang dianggapnya tidak pantas
untuk meraih gelar kehormatan tersebut, menjadi orang paling pintar di
sekolahnya sekarang.
Mia duduk dengan anggun di taman
sekolah, merapatkan kakinya, menekan roknya dengan sebelah tangan
sedangkan jari-jari tangan yang lain menyisir rambut panjangnya yang
lembut, berusaha untuk bertahan dengan angin sepoi yang berhembus
menerpa sekujur tubuhnya. Entah mengapa ia merasa ingin menangis, ia
sangat menderita, batinnya terasa terbakar, tersayat oleh pilu
kesedihan yang mendalam, semua karena pria itu, yang berada untuknya
dan selalu melindunginya tanpa ia sadari. Dan sekarang betapa ia ingin
melihat pria itu sekali lagi, orang yang telah ia sia-siakan dan
konsekuensinya ia akan menderita sepanjang hidupnya. Tiba-tiba kenangan
itu muncul menghampiri Mia tanpa ia bisa mengelak, dan sekali lagi ia
kembali terlarut dalam pusaran kejadian masa lalu.
Two Years Ago
Langit
sedang benderang, terik memanasi bumi seperti kompor gas yang siap
meledak kapan saja, tapi itu tidak terlalu berlebihan, jika
dipikir-pikir lagi semua akibat ulah manusia itu sendiri, sombong dan
terlanjur manja untuk menghamburkan seisi dunia tanpa memikirkan
akibatnya. Jika tidak diimbangi dengan keseriusan untuk menjaganya agar
tetap aktif berproduksi, maka ramalan 2012 mungkin akan benar menjadi
kenyataan dan kita siap-siap akan menjadi bulan-bulanan dunia di akhir
zaman.
Pak Joko sedang bertutur panjang lebar mengenai pelajaran
Geografi yang telah dikuasainya dengan matang sejak menjadi guru di
sekolah ini, baginya ramalan suku Maya bukan isapan jempol belaka,
apalagi didukung dengan berbagai perihal riset ilmiah yang
membingungkan, namun seratus persen akurat, maka sudah jelas ia sangat
percaya ramalan itu akan menjadi kenyataan.
“Apes deh, hari gini masih ngomongin kiamat, capek dehh,”
“Betul, betul, betul,..”
“Jika kiamat itu datang maka, nasib lagi apes, sebab gue belum kawin..,”
“Huh..huhh..,”
“Pak, yang lain napa, kok tiap kali masuk bahasin 2012, emang rencananya Bapak mau merit tahun segitu?”
“Betul, betul, betul..,”
“Wah..ha..ha,”
“Stopp… sudah anak-anak, tapi jika kita mengerti dan segera mengambil tindakan maka…,”
“Yahh, dilanjutin lagi, capek dehh,”
“Huh..huhh…,”
Keriuhan
begitu terasa di kelas Geografi, murid-murid merasa begitu jengkel
karna Pak Joko selalu mengungkit masalah 2012 di setiap kelas yang ia
berikan, berturut-turut tanpa mengenal bosan dan lelah, beliau begitu
bersemangat untuk menceritakan hal-hal yang berbau dengan suku Maya,
dan jika diperlukan maka pelajaran tentang yang satu itu akan menemani
soal-soal ujian yang bakal dikeluarkan untuk ulangan semester. Bagi
murid-murid yang pintar hal itu sangat menjengkelkan, namun bagi
murid-murid lain, itu adalah berkah, sebab jawaban itu telah melekat
seperti perangko di dalam kepala mereka, dan kenyataannya jawaban untuk
soal yang satu ini selalu membantu nilai mereka. Bahkan Pak Joko tak
tanggung-tanggung memberikan nilai sempurna jika soal yang satu ini
dikerjakan dengan karangan bebas sesuka hati alias diberi penjelasan
panjang lebar.
“Tok, tok, tok....”
“Iya, silahkan masuk.”
Sejenak
suasana kelas menjadi hening, suara murid-murid itu seperti teredam di
dalam kaset pita suara mereka. Wajah mereka tampak terkejut melihat
sosok kurus tinggi
memakai kacamata telah berdiri di ambang pintu.
Wajah orang itu terlihat sangat pucat, ia tampak lebih tua dari
mereka, seperti seorang senior yang kekurangan gizi atau yang sedang
didera stress berat, kedua bola matanya tampak suram dan warna hitam
disekitar kantong matanya melukiskan dirinya sebagai seorang pesakitan.
“J.J., apakah itu namamu?” tanya Pak Joko saat membaca sepucuk surat yang diserahkan murid itu kepadanya.
Murid
itu mengangguk dan kemudian mengikuti Pak Joko ke dalam barisan kursi
murid-murid, menunjukkan tempat kosong yang disebelahnya duduk seorang
gadis berambut panjang.
“Mia, dia akan duduk bersamamu, kuharap kau bisa membantunya.”
“Nah, kamu bisa duduk di sebelahnya.”
Gadis
yang bernama Mia itu tampak sangat tidak tertarik, ia tidak menyahut
saat pria itu memanggilnya. Anehnya sepanjang pelajaran hari ini, Mia
merasa pria itu terus memperhatikan dirinya, namun ia toh tidak peduli.
Two Weeks Later
Mia
merasa ada yang aneh dengan pria itu, sejak ia masuk ke kelas ini,
belum sekalipun ia mendengar pria itu meminjam catatan ataupun bertanya
mengenai pelajaran sekolah kepadanya. Dan setelah dua minggu ia berada
di sini tak seorangpun yang berani mendekatinya, ataupun berteman
dengannya. Mia merasakan sesuatu yang miris menyayat kalbunya hari ini,
betapa ia telah tega menghiraukan pria itu beberapa minggu ini, tanpa
mau bercakap ataupun memandang wajah pria itu, walau hanya sekilas.
Sebenarnya Mia merasa ia tidak perlu melakukan apa-apa, sebab jika
bertanya mengenai pelajaran sekolah kepadanya, maka ia juga harus angkat
tangan karena beberapa bulan ini ia susah untuk berkonsentrasi dalam
pelajaran, sering kali ia ketiduran di kelas dan catatannya yang carut
marut tak mungkin ia pinjamkan untuk pria itu.
Pria itu tidak
datang hari ini, dan tidak seorangpun yang membicarakannya, mereka
menganggap dirinya seperti ‘invisible man’ atau manusia yang tak
tampak, yang tidak perlu untuk dihiraukan apalagi diajak berbicara
seperti layaknya teman. Terkadang mereka melihat pria itu sebagai
pesakitan yang harus dijauhi. Mia merasa aneh, melihat sosok pria asing
itu tidak berada di sebelahnya hari ini, hatinya bertanya-tanya apakah
pria itu telah menyerah dan memutuskan untuk meninggalkan sekolah ini
untuk selamanya. Masa bodoh dengan semua itu, pria itu bukan
siapa-siapa, ia hanyalah orang asing yang tidak dikenal olehnya.
Lonceng
bermain dan murid-murid telah membentuk antrian panjang di kantin,
sedang Mia hanya duduk di taman, menyesap minuman botol yang berisi air
mineral yang dibawanya dari rumah. Kemudian berhenti minum ketika
mendengar sesuatu yang mengejutkan saat Pak Joko berbicara kepada
Kepala Sekolah yang duduk tepat di belakang, sambil memunggungi Mia.
“Murid
itu, maksudku Jojo, bagaimana keadaannya, Pak? Bukankah ia terlalu
mengambil resiko untuk bersekolah padahal ada kanker ganas sedang
menggorogoti kepalanya?”
“Mungkin ia tidak dapat bertahan lebih
lama lagi, dokter telah angkat tangan dan itu berarti ia tidak akan
selamat, hanya mukjizatlah yang dapat menyembuhkan dirinya.”
“Aneh, mengapa ia malah memilih sekolah di sini dan memilih duduk bersama Mia?”
Kedua
pria itu berbicara tanpa menyadari Mia telah mendengar semua
percakapan mereka. Mia menebak-nebak apa yang sedang mereka bicarakan,
di sekitar suara yang membisingkan, hanya beberapa kalimat yang dapat
ditangkap olehnya. Jojo, kanker dan dirinya. Tanpa berpikir lagi ia
berdiri dan berteriak sedikit kencang ke arah kedua pria yang
memunggunginya sekarang. Dan mereka berbalik dengan wajah tampak
terkejut.
“Apa yang kalian ucapkan? Jojo, siapa pria itu sebenarnya? Apa hubungannya dengan saya?”
“Tenang, Mia. Kami tidak sedang membicarakan siapa-siapa.” terang Pak Joko dibarengi dengan anggukan pelan Pak Kepala Sekolah.
“Tidak,
kalian pasti bohong, jelas saya mendengarkan kalian menyebut nama Jojo
dan saya. Kumohon bapak dapat memberitahu saya sekarang.”
Setelah
berusaha menenangkan Mia yang berteriak, sehingga membuat murid-murid
yang berada di sekitar melihat dengan tanda-tanya. Pak Joko dan Kepala
Sekolah segera menggiring Mia ke kantor mereka. Tidak ada pilihan lain,
mereka memutuskan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi,
terutama siapa jati diri Jojo sebenarnya.
Mia berlari,
terisak keluar dari kantor Kepala Sekolah, setelah menerima penjelasan
dari kedua pria itu. Betapa tidak, setelah mendengar semuanya, ia
akhirnya menyadari sesuatu, pria asing yang duduk bersamanya sejak dua
minggu yang lalu, tidak lain dan tidak bukan adalah Jojo, pria yang
sangat ia cintai, cinta pertamanya yang begitu saja raib dari
kehidupannya, hingga untuk melupakan pria itu, dirinya memutuskan untuk
berpindah sekolah. Dan pria itu sekarang sedang sekarat, menunggu
ajal, tapi sebelum itu ia sangat ingin bertemu dengan Mia untuk
terakhir kalinya. Mia mungkin sangat menyesal karena selama ini tidak
menghiraukan pria itu, jika saat itu ia sadar dan mencoba mencari siapa
jati diri pria itu, mungkin semuanya tidak akan begini. Ia akan sangat
bahagia menemani pria itu, orang yang sangat ia rindukan dan cintai
dengan segenap jiwanya, walau pria itu berada di ujung nafas
terakhirnya.
Rintik hujan telah membasahi seluruh jalanan
yang tadinya kering kerontang. Mia telah diberi izin keluar sekolah.
Ketika di dalam mobil, Mia tidak dapat menahan isak tangis, air matanya
mengucur kian deras, jatuh membasahi rok abu-abunya hingga membuat dua
lingkaran yang kian merembes lebar. Nafasnya terasa sangat berat. Di
ingatannya sekarang berkelebat wajah Jojo yang masih sangat muda, yang
sedang tersenyum kepadanya, saat pria itu menolongnya ketika hampir
tenggelam di kolam renang, ketika mereka masih duduk di bangku sekolah
dasar. Juga saat pria itu memberikan semangat padanya di kejuaraan lari
nasional antar sekolah yang menjadi satu-satunya kelihaian Mia, dan
saat Mia sedang mengalami kemunduran dalam pendidikannya, pria itu juga
yang mengajarinya metode belajar instan yang unik, menghafal pelajaran
dengan memakai ikat kepala yang bertuliskan ‘semangat’ sambil
menghadap cermin, dan Jojo selalu berkata, “Jika ada orang yang harus
memberikanmu semangat, dirinya adalah dirimu sendiri, dan bayanganmu di
cermin itu akan menjadi penyemangat dirimu.”
Sesampainya
di rumah sakit, Mia segera berlari menuju ke lobi, menanyakan kepada
perawat yang sedang bertugas, kamar Jojo yang sedang dirawat. Kemudian
setelah berada di pintu kamar Jojo dirawat, Mia hanya berdiri mematung,
ia merasa sangat berat untuk bertemu dengannya, ia tidak ingin melihat
kondisi pria itu sekarang, melihat puluhan alat bantu sedang terpasang
di dadanya, selang-selang yang menjadi penompang hidupnya dan penyakit
sialan yang menggerogoti seisi tubuhnya. Ia tidak rela dan marah
kepada Jojo karena menghadapi semua itu tanpa dirinya. Namun Mia segera
menepis segala perasaan yang menyambanginya, sekarang ia harus memberi
pria itu semangat seperti yang pernah dilakukan dulu terhadapnya.
Mia
terkejut saat masuk ke dalam ruangan, ketika melihat apa yang menjadi
bayangannya tadi tidak menjadi kenyataan, namun ia bisa merasakan
penderitaan kedua orang tuanya, yang sedang berdiri di sana, melihat
anak semata wayang mereka sedang sekarat, tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Tante,
Om,” sapa Mia dan kedua orang tua Jojo segera mengangguk lemah
kemudian menyeret langkah mereka keluar dari ruangan, membiarkan Mia dan
Jojo berdua di sana, berbicara setelah hampir beberapa tahun lamanya
mereka tidak bertemu.
“Mia.”
Pria itu terbaring, lemah dan
kini tanpa bantuan alat sedikitpun, ia merasa semua itu tidak penting
lagi, ia merasa waktunya akan berakhir sebentar lagi, dan ia tidak akan
menyiakan waktu ini begitu saja. Mia menangis, melangkah dengan berat,
mendekat, menjatuhkan wajahnya ke dada pria itu, yang menyambutnya
dengan hati yang sangat sakit, perasaan yang bercampur aduk, ia meraung
dan menangis dengan pilu, seperti seseorang yang tidak ingin merelakan
kebahagiaannya terenggut oleh kematian, yang ingin merasakan kembali
kenangan di masa lalunya yang indah. Ia terlanjur mencintai Mia dan
begitupula sebaliknya.
Jojo didorong dengan kursi roda, menuju ke
taman. Hujan rintik itu tidak ada lagi, meninggalkan bau tanah yang
basah. Bunga serta rerumputan kini bercahaya, terbilas butiran air
hujan yang memantulkan cahaya mentari yang akan segera meredup di
hujung senja. Mia membungkuk, memeluk leher Jojo dari belakang,
kemudian bersama mereka menatap mentari senja itu dalam diam. Wajah Mia
tampak tegang, pucat dan khawatir, tangannya terasa sangat dingin,
tapi entah mengapa Jojo dapat memberikan kehangatan ketika ia
memeluknya. Detik-detik itu terasa sangat berharga sekaligus
menyakitkan, ia merasakan akan kehilangan pria itu sekali lagi, dan
kali ini untuk selamanya.
“I love you, Mia,” bisik pria itu ke
dalam telinga Mia sebelum nafas terakhir itu memutuskan kebahagiaan
mereka. Gadis itu menangis, memeluk Jojo seerat mungkin, dan ia harus
siap merelakan pria itu pergi untuk selamanya.
Present Day
Mia
membaca surat terakhir yang ditulis Jojo sebelum ia menemui ajalnya.
Kemudian merasakan seolah tulisan itu berbicara kepadanya,
“Apa
kabar, Mia. Lama kita tidak bertemu. Mungkin dirimu sudah melupakan
diriku saat ini. Apakah kamu masih marah? Oh tentu saja, buktinya kamu
tidak mau melihatku saat aku memasuki kelasmu waktu itu. Dan tidak
menyahut panggilanku saat aku duduk di sebelah bangkumu. Aku tidak tahu
bagaimana hatimu sekarang, mungkin dirimu tidak dapat memaafkan diriku,
soal pernyataan cintamu yang kutolak mentah-mentah, soal diriku yang
berpura-pura tidak menghiraukan dirimu lagi saat itu. Dan ketika diriku
tiba-tiba lenyap dari hatimu dan kehidupanmu.
Semua kulakukan
bukan untuk menyakitimu, terus terang aku terlanjur cinta padamu,
bahkan saat pertama kali kita jumpa, mungkin kamu sudah tidak
mengingatnya, bocah kecil yang terjatuh saat berlari dan kemudian kamu
mengendongnya seperti anak cewek tomboy ke dalam ruang kesehatan. Sejak
itu aku telah memutuskan untuk membalas kebaikan hatimu dan Tuhan
mengizinkan aku untuk menolongmu saat dirimu hampir tenggelam di dalam
kolam renang. Dan kita mulai berteman sejak saat itu.
Aku
mencintaimu, tentu saja, jika dirimu tidak percaya maka kamu bisa
mempercayai-Nya, seperti diriku mempercayai-Nya, namun aku tidak akan
menyatakan perasaanku padamu jika pernyataan itu akan berhujung pada
penyesalan atas penderitaan dan hilangnya kebahagiaanmu.
Ya,
penyakit sialan ini telah menjalariku sejak kecil, walau tidak begitu
kelihatan di awal mulanya, tapi perlahan namun pasti usiaku akan
berakhir di usia mudaku yang tidak bakal lama lagi. Pernyataan cintamu
sungguh membuatku terharu sekaligus miris, terharu karena dirimu begitu
mencintaiku, begitu juga sebaliknya, dan miris karena cintamu bukan
diperuntukan bagiku. Aku berusaha untuk tidak menghalangi kebahagianmu,
walau hatiku sakit namun kuputuskan untuk meninggalkan kehidupanmu
untuk selamanya. Dan membawa kenangan kita untuk kupendam dalam
perjalananku menuju ajal.
Namun penyesalan rupanya selalu
datangnya terlambat, aku menyadari menghabiskan sisa hidupku denganmu
mungkin dapat memperpanjang usiaku, aku bahkan harus menjadi orang yang
lebih egois, mempertahankan dirimu untukku. Dan ketika dirimu
melepaskan tanganku maka aku akan rela, pergi untuk selamanya.
Tapi
aku tidak melakukannya, tidak berani, seperti seorang pengecut diriku
terus bersembunyi melawan takdir. Dan sejak kematian terasa begitu
dekat, akhirnya diriku memutuskan untuk bertemu lagi denganmu, untuk
yang terakhir kali, dan kali ini tetap sama, tanpa kata pisah tentunya.
Jika kamu sudah membaca surat ini, maka aku ingin kamu tetap tegar, kumohon maafkan aku.”
“Bagiku, cintamu adalah anugerah yang terindah yang dihadiahkan oleh-Nya.”
“I love you, Mia”
Mia
mendekap surat itu erat di dadanya, tidak perduli dengan berita juara
umum yang ia dapatkan dengan metode belajar instan unik yang diajarkan
Jojo kepadanya. Ketika angin kembali menerpanya ia merasa Jojo telah
duduk disampingnya, tersenyum dan tanpa sadar, Mia menempelkan
kepalanya di bahu pria itu.
#the and
#NP- http://youtu.be/_GAwRCNyhU8
#cerpen gue bakal d muat d tabloid gaul edisi 16 febuari 2012
created by : chandra maliq
tankz :D