Senin, 26 November 2012

air mata penyesalan

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... untuk kesekian kalinya pujian kebesaran itu diucapkan, bersumber dari salah satu menara mesjid yang tidak jauh dari rumah. sesekali suara anak kecil ikut mengucapkan kata per kata pujian itu. sudah barang tentu itu adalah sambutan untuk mengawali bulan puasa atau biasa disebut ramadan.
Aku dan sahabatku Ayub sangat senang menyambut Ramadhan ini. Selain kami bisa beramal, juga karena bisa membeli baju dan celana baru untuk dipakai ketika lebaran nanti.
Hari pertama berpuasa cukup memberatkan bagiku untuk melaksanakannya. Aku masih saja kesulitan menahan lapar dan haus sehari penuh. Jika sedang menjelang siang, rasa haus dan lapar menggerogoti organ-organ dalam tubuhku. Namun itu tidak membuatku menyerah, sesekali mataku tertuju pada jam dinding, melihat waktu yang ditunjukkannya. Berbeda dengan Ayub, sahabatku! Dia sangat kuat dalam menjalani ibadah puasanya. Orangnya pun sangat rajin dalam beribadah. Seperti halnya ramadhan yang lalu, ia tidak mau ketinggalan atau terlambat ke mesjid. Setiap hari ialah yang mengumandangkan adzan. di subuh hari ia terkadang membawakan kultum di mesjid, begitu pula di malam harinya jika tidak ada penceramah. Dia begitu bersemangat menyambutnya. Tak jarang pula ia mengerjakan shalat malam di saat orang-orang sedang asyik terlelap dalam tidurnya. Di luar dari kebiasaan teman sebayanya yang masih berumur 14 tahun. Tapi itulah Ayub, anak yang saleh dari desa kami. Keluarga Ayub memang dikenal sebagai keluarga yang taat dalam beribadah. Kakeknya pun adalah imam mesjid di kampung kami sewaktu beliau masih hidup.
Ayub adalah anak yatim piatu yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya yang bungsu, si Rizki. Sedangkan bapaknya meninggal ketika hendak pergi melaut sebagai nelayan. Perahu yang dibawa bapaknya tenggelam di terjang oleh buasnya ombak yang tak bertuan itu. Kurang lebih lima hari dilakukan pencarian, barulah jasad yang sudah tak bernyawa itu ditemukan oleh warga yang ikut membantu mencari jasad pak Warman. Tubuhnya sudah membengkak dan biru-biru saat ditemukan. Perahunya pun sudah tak lagi utuh. Semuanya amat berantakan, tak lagi seperti perahu, tapi lebih cocok disebut sebagai potongan-potongan kayu bakar yang dipakai untuk memasak air di rumah. Hanya rumah dan bangkai perahu itu satu-satunya warisan yang ditinggalkan kedua orang tuanya.
Kematian orang tuanya membuat Ayub sangat terpukul. Mengapa tidak? Kakek dan neneknya pun sudah sangat lama meninggalkan mereka, hanya kedua adiknyalah harta yang dia miliki saat ini. Kini, Ayub hidup sebagai anak yatim piatu. Dia harus menjadi kepala rumah tangga diusianya yang masih sangat muda. Dia harus menghidupi kedua adiknya yang masih anak-anak. Namun kehilangan kedua orangtua tak membuat Ayub putus asa dan gentar dalam menjalani takdir hidupnya sebagai anak yatim piatu. Apalagi harus menghidupi kedua adiknya yang masih anak ingusan itu.
Dia anak yang kuat, pekerja keras dan amat disiplin dalam beribadah. Bahkan tak jarang aku iri kepadanya. Kedua orangtuaku sering sekali memujinya dan menyuruhku untuk mencontohi sikap mandiri yang dimiliki Ayub dalam menjalani hidup ini, serta mengikuti perilaku teladannya sebagai remaja yang saleh. Dia menjadi para idaman orang tua. Semua orang di kampungku memujinya dan ingin memiliki anak seperti Ayub.
Orang tuaku sudah menganggapnya anak sendiri. Dia sudah menjadi bagian dari keluargaku sejak ibunya meninggal. Aku sangat bahagia memiliki saudara sekaligus sahabat seperti Ayub, tapi terkadang aku iri kepadanya karena kedua orang tuaku sangat memerhatikannya. Hampir seluruh kasih sayang yang ada, semuanya tercurah untuk Ayub dan kedua adiknya dan adikku. Sedangkan aku hanya mendapat sisa-sisa kasih sayang yang ada dalam keluargaku. Tapi aku tidak pernah mengutarakan keluh kesah itu kepada orang tuaku, karena aku sangat yakin bahwa orangtuaku hanya ingin menghibur Ayub dan adik-adiknya agar tidak larut dalam kesedihannya. Tapi adik bungsunya, Rizki, seringkali manangis dan memanggil-manggil bapak dan ibunya, sehingga membuat Ayub sangat sedih, bahkan tak jarang ia ikut mengeluarkan air mata karena mengingat kedua orang tuanya dan mengenang keluarganya yang dulu bahagia dan harus berakhir duka diusianya yang masih muda serta memikul tanggung jawab sebagai kakak yang menjadi orang tua bagi adik-adiknya.
Kini ia harus memikul beban sebagai kakak yang harus menjadi Ibu dikala adik-adiknya menangis dan menjadi seorang bapak dikala adik-adiknya meminta uang jajan. Atau mungkin orang tuaku menginginkan agar aku seperti Ayub yang taat menunaikan shalat dan tidak selalu bergantung diri kepada orang lain atau dengan kata lain selalu hidup mandiri.
Selama ini, orangtuaku selalu berharap agar aku seperti Ayub, mengikuti kesolehannya dalam beribadah dan patuh kepada orangtua. Dibandingkan dengan aku, untuk berpuasa saja susahnya minta ampun dan shalatku pun seringkali aku loncati. Ditambah lagi, aku yang keras kepala. Tak jarang membentak ibu jika keinginanku tidak dipenuhi. Jika aku marah, biasanya aku pergi dari rumah dan tak akan pulang ke rumah untuk beberapa hari. Aku selalu tinggal di rumah Ayub yang hanya bersebelahan dengan rumahku jika aku minggat dari rumah. Di rumahnya, aku juga sudah seperti keluarga. Waktu ibu dan bapaknya masih hidup, aku mendapat kasih sayang yang sama seperti Ayub. Sama sekali tidak ada perbedaan di antara kami. Tapi kini, mereka sudah pergi meninggalkan kami. Ketika ibu Ayub meninggal, akupun ikut meneteskan air mata layaknya anak kandung menangisi ibunya yang ditinggal pergi. Sejak kecil aku dipelihara oleh orangtua Ayub. Ketika ayah dan ibuku keluar daerah dalam sebuah tugas pekerjaan, aku dititip di rumah Ayub. Waktu kami masih bayi, aku dan Ayub dikatakan saudara kembar. Jika seseorang hendak datang ke rumah Ayub. Ketika kami diberi asi susu ibu atau ditidurkan sama-sama, ”Kata Ibu Ayub”. Karena itu, aku dan Ayub sering dipanggil saudara susu asi dari ibunya dan mendapat kasih sayang yang sama di dalam keluarganya. Jadi tidak heran, jika aku meneteskan air mata dan memanggil dia ibu di akhir hidupnya, ketika ibu Ida meninggalkan kami semua. Mereka pergi dan hanya menyisahkan sabitan duka serta kesedihan yang tak bisa aku ukirkan dengan kata-kata.
Jika aku mengenang mereka air mata ini tidak dapat aku bendung, mengalir deras mengikuti kasih sayangku yang terkubur dalam tanah. Batinku terseok-seok, jiwaku serasa tercabik-cabik. Parahnya lagi, hati kecilku menaruh dendam pada malaikat yang telah merenggutnya dariku. Saat itulah setan menguasai pikiranku. Aku bahkan tak dapat mengendalikan pikiranku yang satu itu. Pikiran itu tidak aku sukai, tapi membuatku tenang jika sudah mengatakannya.
Kini tinggal satu minggu lagi Ramadhan akan usai. Biasanya di kampung kami, para Ibu-ibu sibuk membuat kue untuk persiapan dalam menyambut hari lebaran nanti. Di waktu lebaran akan banyak kalangan yang datang untuk bersilaturahmi, baik itu keluarga, teman, atau para tetangga di kampung berkunjung untuk saling bermaaf-maafan ke rumah-rumah penduduk.
Anak-anak, remaja, dan orang dewasa biasanya berpakaian serba baru dalam menyambut hari lebaran itu. Akupun tidak mau ketinggalan untuk tidak berpakaian serba baru di hari lebaran nanti. Maka aku segera menghampiri ibu yang sedang sibuk mengaduk terigu untuk dijadikannya kue. Tapi ibu bilang, ia tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian baru untukku.
”Nak! Aku sudah tidak punya uang lagi. Uang Ibu sudah terpakai untuk membeli minyak, telur, dan terigu dan sebagainya!” Kata Ibu. ”Kamu kan sudah besar, apalagi masih punya pakaian di lemari yang masih terbilang baru. Itu saja kamu pakai untuk lebaran nanti.” Seru Ibu padaku!
”Tapi aku mau baju yang baru, Bu! Pintaku! ”
”Tapi ibu sudah tidak punya lagi uang untuk belikan kamu pakaian baru. Adikmu saja tidak aku belikan, kok!” jawab ibu! Memberiku pengertian. ”Jadi kamu tidak usah dibelikan juga...” Kata ibuku lagi!
Karena Ibu tidak mau membelikan pakaian baru. Maka aku membentak ibu dan memukul pintu rumah, lalu pergi. Ia tak memerdulikan tingkahku saat itu, walau ia merasa tidak aku hargai sebagai orang tuanya. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya dan hanya menggelengkan kepala.
”Ah...! Ibu memang pelit sama aku, setiap ada yang aku inginkan, ibu tidak pernah memenuhinya.” Kataku! Lalu pergi dari hadapannya dengan muka yang sangat kecewa dan marah. Aku yang puasa saat itu tidak lagi menyadari kelakuanku pada ibu. Padahal, orang-orang bilang ”dalam berpuasa kita harus menjaga diri dari hal yang membatalkan- nya. Karena itu dapat membatalkan puasa seseorang.” Namun dalam keadaan tidak terkuasai, aku meluapkan amarahku begitu saja tanpa menahannya sedikitpun. Namun aku tetap berpuasa meski sudah marah.
Seperti biasa, aku minggat lagi dari rumah dan tak mau pulang untuk beberapa hari. Hingga satu malam, di mana orang-orang sudah terlelap tidur. Diam-diam Ayub kepemakaman Ibu dan bapaknya yang hanya terletak di belakang rumahnya. Di sana, ia duduk termenung lama, membersihkan pemakaman orangtuanya dan sesekali ia menatap ke langit, seolah ia menuntut keadilan di atas sana. Kemudian ia kembali menundukkan kepalanya. Tangannya meremas tanah kuburan, sangat erat, menunjukkan seperti ia ingin marah pada sesuatu. Dipukulkannya tanah yang ia digenggam dengan penuh amarah, hingga akhirnya ia meneteskan air mata membasahi tanah pemakaman orangtuanya. linangan airmatanya mengguyur batu nisan Ibunya. Ia berteriak tapi tak mengeluarkan suara. Teriakan itu ditujukan pada suatu yang ia temani bicara dalam dirinya, ”Tuhan?” tebakku. Jiwanya seperti dipenuhi insting ketuhanan. Pandangannya tertuju ke langit dan tangan tengadah ia sodorkan, layaknya orang yang sedang berdoa dan berkata:
Tuhan...
Adikku berkata tadi sore: Kak! Aku juga mau berpakaian baru seperti anak-anak yang lainnya. Tolong belikan aku juga ya Kak...!” Katanya.
Apa yang harus aku lakukan, Tuhan...?Aku tidak mempunyai uang untuk membelikan adik-adikku pakaian baru itu. Untuk makan saja aku harus bekerja keras demi sesuap nasi.
Andaikan saja Ibu dan bapakku masih hidup, adik-adikku tidak akan pernah meminta kepadaku untuk dibelikannya pakaian baru-Mu.
Tapi aku juga tidak menginginkan pakain baru itu. Yang aku inginkan sekarang ibu dan bapakku berada disampingku, mencium keningku dan memelukku untuk malam ini saja, meski itu cuma dalam mimpi, Tuhan!
Andai saja Kau mau mengabulkan doaku yang satu ini, Tuhan! Pintanya!
Aku yang mengintipnya dibalik dinding rumahnya. Menyaksikan sedari tadi ia mengadukan keinginan adik-adiknya di atas pemakaman oarngtuanya, aku turut menangis dibuatnya. Selama ini, aku pikir ia sangat tegar menghadapi cobaan ini karena ditinggal mati oleh orang yang paling disayanginya, tapi ternyata aku salah. Ia hanyalah laki-laki yang sama denganku. Bedanya, ia selalu menyembunyikan kesedihan- nya dari orang-orang sekitar, atau ia hanya tak mau terlihat di depan adik-adiknya terlihat sedih karena takut akan mengingatkan mereka akan orang tuanya. Tapi aku sangat berterima kasih padanya karena telah membuka cakrawala hidupku yang selama ini aku anggap benar tapi ternyata salah.
Teringat akan ibu, aku tinggalkan Ayub sendirian yang masih berada di pekuburan ibu bapaknya dan aku tak mau mengganggunya. Akupun kembali ke rumah di tengah malam yang tandus. Aku tak tahu mengapa aku ingin sekali pulang ke rumah. Walau aku tahu, pintu rumahku sudah pasti terkunci, tapi aku tetap berniat untuk kembali ke rumah lewat jendela kamar yang sudah pernah aku rusak dulu. Akupun memanjaki jendela kamar tidurku. Setelah masuk, aku terus berjalan melewati ruang tamu dan masuk ke kamar ibu dan bapakku yang sedang tertidur pulas. Aku berdiri sejenak memandangi ibu, lalu air mataku menyembur membasahi punggung kakinya, kemudian aku mencium kedua kaki ibu lalu kukecup kening ibu sambil menangis dan berkata:
”Tuhan... Terima kasih Engkau masih memberiku seorang ibu dan ayah yang masih menyayangi dan mendampingiku hingga saat ini. Terima kasih Tuhan..!” Gumamku. Air mata mengalir deras seperti penyesalanku karena telah melukai hati ibu selama ini. Tanpa sadar aku peluk ibu erat, airmataku tak dapat aku bendung...
****