tahajud karna cinta
Rasulullah
SAW adalah manusia yang tak pernah meninggalkan shalat malam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qois, ia berkata, “Aisyah RA berkata
kepadaku, ‘Janganlah engkau meninggalkan shalat malam sebab Rasulullah
SAW tidak pernah meninggalkannya. Apabila sakit atau lelah, beliau
shalat dengan duduk.” (HR Abu Dawud).
Suatu saat orang-orang
di Madinah ingin melihat wajah sejuk Rasulullah dan menyaksikan sosok
manusia yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Setelah mereka
berkumpul, Rasulullah menyampaikan pesan kepada orang yang hadir. “Wahai
manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang fakir,
sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah pada malam hari ketika
orang-orang tidur lelap agar kalian masuk surga dengan selamat.” (HR
Tirmidzi).
Bagi orang-orang yang haus akan dahaga menggapai
rida Ilahi, yang rindunya tak terperikan mengharap taman surgawi, shalat
tahajud seakan sebuah kewajiban. Karena mereka mengartikannya sebagai
sebuah perintah. “Dan pada sebagian malam, bertahajudlah sebagai ibadah
tambahan bagimu, semoga Tuhanmu akan mengangkat ke tempat terpuji.” (QS
[17]: 79).
Tiada kelezatan melaksanakan shalat malam kecuali
Allah akan menempatkan diri manusia di tempat mulia (maqamam mahmuda).
Para penempuh jalan kemuliaan itu, bangun pada sepertiga malam sampai
menjelang fajar untuk menumpahkan hasratnya beraudiensi dan bertatap
batin dengan Allah SWT.
Ketika tengah malam pekat membuai
lelap, seakan mereka merintihkan segala harapan, seraya berharap
petunjuk Allah. “Wahai Ilahi, Engkaulah pelita yang menerangi
hamba-hamba yang tersesat di lembah kegelapan. Engkaulah petunjuk para
musafir yang tersesat di padang pasir. Engkaulah mutiara yang
tersembunyi dan terus kuselami, betapa pun ombak gelombang menggulung
dan mengempas tubuhku. Inilah air mataku yang memburai dari hatiku yang
basah. Setiap tetesan air mataku adalah harap cemas, penyesalan tiada
tara akan dosa-dosaku, dan berharap akan maghfirah (ampunan)-Mu.”
Dalam tahajud, tidak ada lagi permohonan yang mendunia, tetapi yang ada
hanyalah desah rindu untuk berjumpa dengan Allah semata (liqa'a li
robbihi). Cinta telah memikat hati mereka untuk terbang membubung
mencari Sang Pemilik Cinta. Jiwanya melayang menjulang bagaikan serpihan
kapas tertiup angin pagi diiringi petikan dawai halus yang
mendendangkan hasrat kerinduan tak terperikan, seraya berkata, “Wahai
Tuhanku, Engkaulah segala akhir dari tujuanku, Engkaulah yang selalu
kurindu dalam pencarianku.”
Cinta mereka yang makrifat telah
merenggut seluruh perhatiannya hanya kepada Allah sehingga tidak lagi
ada ruang kosong untuk dendam dan benci. Cinta tak mengenal itu semua,
yang ia kenal hanya memberi, bukan meminta. Betapa pun rombongan dendam
dan benci berkendaraan emas kencana, merayu mampir barang sejenak. Akan
aku katakan kepada mereka, "Wahai musafir yang tersesat, kamar-kamar di
hatiku telah penuh oleh tamu-tamu cinta. Tidak mungkin aku mengusirnya
karena mereka akan tinggal sepanjang hidupku.”