''Kamu mengatakan bahwa yang saya persembahkan ini sebuah
pertunjukan. Aku tidak setuju, sebab yang kusampaikan ke masyarakat
hanyalah gangguan kuping. Aku berharap syaraf-syaraf kuping mereka
tersiksa dengan hebatnya, lalu pada menit-menit bahkan detik-detik
terakhir mereka akan aku siram dengan gerimis yang sejuk.''
Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat
larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke
para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh
pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti zombie menuju mobil jemputan.
Aku tidak tahu pasti apakah bisa tersenyum kepada para penjemput yang
menyalami kami itu, atau wajahku juga mirip dengan wajah zombie. Maka
setiba di wisma tamu aku langsung mandi dan tidur. Aku masukkan seluruh
diriku ke dalam kantung tidur, dan selanjutnya rohku terbang sampai ke
langit tujuh, lalu terjun sampai ke palung yang paling dalam, lubuk yang
paling hangat di perut bumi.
Tahu-tahu hari sudah pagi. Bahkan sudah
sangat siang. Semua sibuk dan ribut. Orang-orang itu juga meributkan,
karena kata mereka, Melani tidur di kamarku. “Lalu ada apa?” tanyaku
kepada orang-orang itu. Sambil tertawa-tawa mereka mengatakan, “Ya tidak
kenapa-kenapa!” Maka siang itu pun kami berlatih dengan sangat serius
sebab kata mereka pertunjukan akan berlangsung dua hari lagi. Aku bilang
ke mereka, “Ini bukan pertunjukan, ini permainan pendengaran.” Mereka
bingung tetapi segera mengatakan, “Ya benar juga ya Bapak? Bapak kan
hanya akan duduk-duduk saja ketika memainkan alat-alat itu?” Meskipun
kami hanya latihan, setiap kali selesai satu permainan, para penonton
yang hanya beberapa orang itu memberikan aplaus berupa tepuk tangan. Ya,
aku sadar ini kan kota kecil. Ini kota yang sangat kecil.
Bapak Uskup itu ternyata muda, gagah, tampan dan sangat ramah, bahkan
egaliter. Dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”. Saya tentu tetap
memanggilnya dengan Bapak Uskup, kadangkala dengan Monsinyur. “Ini tadi
Bung sudah makankah?” Saya menjawab, “Sudah Bapak Uskup. Kami makan enak
sekali. Ikan, katanya hasil tangkapan dari sungai, dan sayur bunga
pepaya. Tapi mengapa di sini juga ada tempe, Monsinyur?” Bapak Uskup itu
tertawa berderai. “Wah, Bung ini bagaimana? Di sini kan banyak sekali
transmigran dari Jawa, dari Yogya, dari Bali, ya merekalah yang
memperkenalkan tempe ke orang-orang sini. Jadi Anda keberatan kalau
acara kita ini nanti disebut pertunjukan?”
***
Melani menjelaskan, bahwa sebenarnya biaya yang digunakan untuk
mendatangkan rombongan, mengangkut alat-alat dari Jakarta, dan tetek
bengek lainnya, andaikan dipakai untuk membangun sekolah, atau memberi
beasiswa ke anak-anak berbakat, akan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Dan yang akan mereka lihat hanyalah tangan yang memetik-metik,
memukul-mukul, memencet-mencet, mulut yang meniup-niup, selebihnya
mereka hanya akan mendengar teror bunyi. “Juga membetot, dan menggesek
bukan?” Tanya Bapak Uskup itu, dan Melani mengangguk mengiyakan. “Benar
Bapak Uskup, juga membetot dan menggesek.”
Maka, seharusnya mereka cukup tidur-tiduran di rumah masing-masing,
atau duduk-duduk mengitari perapian sambil makan ubi bakar, lalu
bunyi-bunyian itu diperdengarkan ke telinga mereka. Itu lebih dari
cukup. Mereka tentu akan sangat berterima kasih, andaikan uang untuk
menerbangkan kami ini, diserahkan ke mereka guna membeli babi, atau
untuk jajan bir dan wisky. “Ya itulah yang terkenal sampai di luaran
sana.” Kata Bapak Uskup sambil manggut-manggut, menangkap apa yang
disampaikan Melani. “Etnis yang tak punya tradisi memfermentasi
karbohidrat, atau gula menjadi alkohol, ketika mengenal jenis minuman
ini memang akan ketagihan. Beda dengan etnis yang punya keahlian
membuatnya.”
Panggung sudah didirikan entah berapa minggu yang lalu. Lampu sorot,
sound system,
dan generator sekian puluh ribu KVA digotong dari bawah sana.
Berdrum-drum solar juga didatangkan, babi dipotong, sagu ditebang, semua
siaga satu. “Apakah tadi Bung ikut bakar batu?” Sayang sekali. Saking
capeknya aku ketiduran di kursi, dan tak ada seorang pun yang berani
membangunkanku. Melani pun, yang biasanya teliti, kali ini teledor.
Sayang sekali. Upacara bakar batu itu sangat penting. Bukan soal
makannya, melainkan guyubnya itu
lho! Seakan ada energi yang
turun dari langit sana. Itu semua memang energi matahari: daging babi,
ubi jalar, sayuran, semua hasil fotisintesis dari energi matahari. Lalu
api untuk membakar batu itu juga berasal dari kayu dan serasah hasil
fotosintesis energi matahari.
Di kejauhan saya melihat Bapak Uskup itu berbicara serius sekali
dengan Melani, lalu mereka berdua menunjuk-nunjuk ke arah tertentu. Lalu
mereka berbicara serius lagi, lalu beberapa orang datang
membagi-bagikan bungkusan. “Ini rompi harus Bapak kenakan! Ini perintah
Bapak Uskup. Kalau tidak pakai ini rompi, bisa mati kena peluru OPM.”
Aku kaget, “Apakah di sini ada OPM?” Orang itu tetap menjawab dengan
sangat serius. “Kata Bapak Uskup, kami semua OPM. Bapak Uskup juga OPM.
Kami Orang Papua yang Merdeka. Itu kata Bapak Uskup. Kami tidak tahu apa
maksud Bapak Uskup. Tetapi ini rompi harus Bapak Pakai. Maka aku pun
mengenakan rompi itu, dan ya ampun! Berat sekali ternyata! Ini rompi
dari bahan apa kok beratnya seperti ini?
***
Saya bertanya ke Melani, mengapa pada malam pertama itu ia tidur di
kamar saya. Saya sama sekali tidak tahu, sebab begitu memasukkan badan
ke kantung tidur langsung terlelap. Kebiasaan saya tidak pernah mengunci
pintu kamar. Ketika pagi-pagi bangun, saya memang melihat Melani ada di
kamar, tetapi saya mengira ia masuk pagi itu untuk sesuatu yang harus
ia persiapkan. Ternyata Melani memelototi saya, “Kalau tidak masuk ke
kamar ini, dan mengunci pintu dari dalam, saya sudah digilir tiga
bapak-bapak yang sangat kekar.” Pasti. Kata Bapak Uskup, mereka pasti
mabok. Sudahlah, kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang
sebaiknya kita lupakan. Sambil terus mengingat-ingat apa saja yang
seharusnya kita ingat-ingat dengan sangat cermat.
Kamu masih ingat kan Melani, ini bukan Jakarta. Maka kita semua harus
ekstra hati-hati. Maka apakah kamu sudah memakai rompi? Aku yakin tubuh
Melani yang kecil itu akan jadi lucu kalau harus diberi rompi, lalu ia
harus memakai blus, atau apa saja di bagian luarnya. Jangan-jangan ia
tidak mau mengenakan rompi itu? Seharusnya kita memang mengenakan
sesuatu yang penting, dan mendesak untuk kita kenakan. Maka saya minta
izin kepada Bapak Uskup, apakah dalam pertunjukan ini nanti boleh
mengenakan kain sarung? Bapak Uskup menggeleng-gelengkan kepala, tetapi
seraya menjawab, “Untuk Bung, apa sih yang tidak diperbolehkan? Andaikan
Bung minta izin untuk pakai koteka pun aku harus kasih izin. Silakan,
monggo. Ya, aku memang Flores. tepatnya Manggarai, tetapi
ngomong Jawa
iso.
Kromo inggil sekedik-sekedik!
Lha wong Seminari Tinggi saya di Kentungan kok!”
“Tapi saya akan menjawab kritikan anak buah Bung itu. Ya, Bu Melani
itu. Keuskupan membiayai penerbangan sekian banyak orang dari Jakarta,
memang benar. Tetapi saya akan cerita yang lain. Dulu para mahasiswa di
sini pernah usul agar saya mendatangkan seniman besar nasional kemari.
Kebetulan saya pribadi kenal baik dengan beliau, maka langsung saya
hubungi. Di luar dugaan beliau minta dibayar seratus juta.
Lha
saya bilang keuskupan tidak punya uang sebanyak itu. E, beliau enak saja
bilang bahwa saya bisa minta ke Freeport. Saya juga langsung bilang
bahwa saya ini uskup, bukan peminta-minta. Tampaknya beliau agak
tersinggung saya jawab begitu, dan itu semua saya sampaikan ke para
mahasiswa.”
Baiklah, semua sudah sangat jelas. Tak akan ada pertunjukan. Mereka
hanya akan menyaksikan orang duduk-duduk, satu dua memang akan ada yang
berdiri di panggung, lalu semua akan mengoperasikan tangan-tangan
mereka, hingga alat-alat mahal yang diangkut dari Jakarta itu akan
mengeluarkan bunyi-bunyian. Bunyi alat-alat itu memang tidak ada yang
seperti teriakan perang, suara burung, atau jerit babi yang ditusuk
aortanya sebelum dipotong-potong dan dipanggang. Mengapa bunyi-bunyian
itu perlu diperdengarkan ke mereka? Semua hanya sebuah konsensus. Tapi
sejak awal, saya hanya mengira bahwa yang akan terjadi hanyalah
basa-basi. Para undangan akan berpura-pura mengapresiasi dengan tepuk
tangan. Itu gampang sekali sebab cara bertepuk tangan sudah diajarkan
sejak anak-anak, oleh para ibu guru TK.
***
Kadangkala aku juga agak kikuk ketika ada bapak-bapak atau ibu-ibu
memanggil saya dengan sebutan Romo. Itu kan sebutan untuk pastor,
padahal saya ini bukan pastor. Sulit sekali menjelaskan hal ini, tetapi
tetap harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Melani sangat bisa
diandalkan dalam hal ini, hingga tahu-tahu semua sudah sangat rapi.
Aparat pemerintah berjajar rapi di kursi kehormatan deretan paling
depan. Di depan meja mereka ada minuman air dalam botol plastik, ada
juga buah impor. Mereka duduk menghadap panggung, dan kuping mereka
sudah terpasang di kiri maupun di kanan. Hanya kadangkala kuping kanan
mereka, mereka paksa untuk mendengar suara dari sebuah kotak kecil
gepeng berwarna hitam, dengan tombol-tombol banyak sekali.
Rakyat juga sudah siap untuk menyaksikan para pejabat itu bertepuk
tangan, dan itu adalah komando bahwa mereka juga wajib ikut bertepuk
tangan. Tepuk tangan mereka juga harus sopan, lalu bisa dihentikan
serentak ketika tiba saatnya untuk berhenti, tanpa perlu diberi aba-aba
secara resmi. Teratak yang dibangun darurat itu cukup kokoh, beratapkan
daun sagu, dan setelah pidato-pidato, setelah sambutan-sambutan,
rombongan dari Jakarta itu pun lalu memperdengarkan bunyi-bunyian dari
peralatan yang mereka bawa. Begitu alat-alat itu dibunyikan, serentak
para undangan bertepuk tangan, dan segera disusul oleh rakyat yang juga
bertepuk tangan ramai sekali.
Tapi biarkan saja. Drum, gitar, piano, bas, apalagi? Tepuk tangan itu
juga sangat keras. Lampu sorot itu bukan hanya terang tetapi juga panas
hingga tubuh yang di panggung menjadi gerah dan berkeringat. Tapi
ketika lampu sorot itu padam, juga lampu-lampu yang lain, maka
kedengaran jerit ramai sekali. Ketika lama sekali lampu tidak kunjung
menyala, semua bertanya-tanya. Ketika kedengaran suara tembakan maka
yang kupikirkan apakah Melani sudah benar-benar mengenakan rompinya?
Lho,
apakah ia juga mendapatkan jatah rompi? Jangan-jangan hanya aku seorang
yang diberi rompi. Beberapa orang lalu menyorotkan lampu senter. Lalu
ada tembakan lagi. Lalu aparat kepolisian menjadi sangat sibuk. Itulah,
tak ada yang bisa dipertunjukkan. Semua gelap, tapi tetap ada yang bisa
diperdengarkan: jeritan, tembakan, dan suara yang gaduh.