Senin, 28 Januari 2013

november rain

When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darling when I hold you
Don't you know I feel the same

'Cause noth in' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain

But lovers always come and lovers always go
An no one's really sure who's lettin' go today
Walking away

If we could take the time
To lay it on the line
I could rest my head
Just know in' that you were mine
All mine
So if you want to love me
Then darlin' don't refrain
Or I'll just end up walk in'
In the cold November rain

Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time...
On their own
Don't you know you need some time...all alone

I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you

Sometimes I need some time...on my
Own
Sometimes I need some time...all alone
Everybody needs some time...
On their own
Don't you know you need some time...all alone

And when your fears subside
And shadows still remain
I know that you can love me
When there's no one left to blame
So never mind the darkness
We still can find a way
'Cause noth in' lasts forever
Even cold November rain

Don't ya think that you need somebody
Don't ya think that you need someone
Everybody needs somebody
You're not the only one
You're not the only one

Rabu, 23 Januari 2013

drama

''Kamu mengatakan bahwa yang saya persembahkan ini sebuah pertunjukan. Aku tidak setuju, sebab yang kusampaikan ke masyarakat hanyalah gangguan kuping. Aku berharap syaraf-syaraf kuping mereka tersiksa dengan hebatnya, lalu pada menit-menit bahkan detik-detik terakhir mereka akan aku siram dengan gerimis yang sejuk.''
Turun dari pesawat kami harus jalan darat, dan tiba sudah sangat larut malam. Ada beberapa penjemput, dan kudengar Melani bertanya ke para penjemput itu, “Apakah Bapak Uskup sudah tidur?” Pertanyaan bodoh pikirku, tetapi aku hanya berjalan seperti zombie menuju mobil jemputan. Aku tidak tahu pasti apakah bisa tersenyum kepada para penjemput yang menyalami kami itu, atau wajahku juga mirip dengan wajah zombie. Maka setiba di wisma tamu aku langsung mandi dan tidur. Aku masukkan seluruh diriku ke dalam kantung tidur, dan selanjutnya rohku terbang sampai ke langit tujuh, lalu terjun sampai ke palung yang paling dalam, lubuk yang paling hangat di perut bumi.
Tahu-tahu hari sudah pagi. Bahkan sudah sangat siang. Semua sibuk dan ribut. Orang-orang itu juga meributkan, karena kata mereka, Melani tidur di kamarku. “Lalu ada apa?” tanyaku kepada orang-orang itu. Sambil tertawa-tawa mereka mengatakan, “Ya tidak kenapa-kenapa!” Maka siang itu pun kami berlatih dengan sangat serius sebab kata mereka pertunjukan akan berlangsung dua hari lagi. Aku bilang ke mereka, “Ini bukan pertunjukan, ini permainan pendengaran.” Mereka bingung tetapi segera mengatakan, “Ya benar juga ya Bapak? Bapak kan hanya akan duduk-duduk saja ketika memainkan alat-alat itu?” Meskipun kami hanya latihan, setiap kali selesai satu permainan, para penonton yang hanya beberapa orang itu memberikan aplaus berupa tepuk tangan. Ya, aku sadar ini kan kota kecil. Ini kota yang sangat kecil.
Bapak Uskup itu ternyata muda, gagah, tampan dan sangat ramah, bahkan egaliter. Dia memanggil saya dengan sebutan “Bung”. Saya tentu tetap memanggilnya dengan Bapak Uskup, kadangkala dengan Monsinyur. “Ini tadi Bung sudah makankah?” Saya menjawab, “Sudah Bapak Uskup. Kami makan enak sekali. Ikan, katanya hasil tangkapan dari sungai, dan sayur bunga pepaya. Tapi mengapa di sini juga ada tempe, Monsinyur?” Bapak Uskup itu tertawa berderai. “Wah, Bung ini bagaimana? Di sini kan banyak sekali transmigran dari Jawa, dari Yogya, dari Bali, ya merekalah yang memperkenalkan tempe ke orang-orang sini. Jadi Anda keberatan kalau acara kita ini nanti disebut pertunjukan?”
***
Melani menjelaskan, bahwa sebenarnya biaya yang digunakan untuk mendatangkan rombongan, mengangkut alat-alat dari Jakarta, dan tetek bengek lainnya, andaikan dipakai untuk membangun sekolah, atau memberi beasiswa ke anak-anak berbakat, akan lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dan yang akan mereka lihat hanyalah tangan yang memetik-metik, memukul-mukul, memencet-mencet, mulut yang meniup-niup, selebihnya mereka hanya akan mendengar teror bunyi. “Juga membetot, dan menggesek bukan?” Tanya Bapak Uskup itu, dan Melani mengangguk mengiyakan. “Benar Bapak Uskup, juga membetot dan menggesek.”
Maka, seharusnya mereka cukup tidur-tiduran di rumah masing-masing, atau duduk-duduk mengitari perapian sambil makan ubi bakar, lalu bunyi-bunyian itu diperdengarkan ke telinga mereka. Itu lebih dari cukup. Mereka tentu akan sangat berterima kasih, andaikan uang untuk menerbangkan kami ini, diserahkan ke mereka guna membeli babi, atau untuk jajan bir dan wisky. “Ya itulah yang terkenal sampai di luaran sana.” Kata Bapak Uskup sambil manggut-manggut, menangkap apa yang disampaikan Melani. “Etnis yang tak punya tradisi memfermentasi karbohidrat, atau gula menjadi alkohol, ketika mengenal jenis minuman ini memang akan ketagihan. Beda dengan etnis yang punya keahlian membuatnya.”
Panggung sudah didirikan entah berapa minggu yang lalu. Lampu sorot, sound system, dan generator sekian puluh ribu KVA digotong dari bawah sana. Berdrum-drum solar juga didatangkan, babi dipotong, sagu ditebang, semua siaga satu. “Apakah tadi Bung ikut bakar batu?” Sayang sekali. Saking capeknya aku ketiduran di kursi, dan tak ada seorang pun yang berani membangunkanku. Melani pun, yang biasanya teliti, kali ini teledor. Sayang sekali. Upacara bakar batu itu sangat penting. Bukan soal makannya, melainkan guyubnya itu lho! Seakan ada energi yang turun dari langit sana. Itu semua memang energi matahari: daging babi, ubi jalar, sayuran, semua hasil fotisintesis dari energi matahari. Lalu api untuk membakar batu itu juga berasal dari kayu dan serasah hasil fotosintesis energi matahari.
Di kejauhan saya melihat Bapak Uskup itu berbicara serius sekali dengan Melani, lalu mereka berdua menunjuk-nunjuk ke arah tertentu. Lalu mereka berbicara serius lagi, lalu beberapa orang datang membagi-bagikan bungkusan. “Ini rompi harus Bapak kenakan! Ini perintah Bapak Uskup. Kalau tidak pakai ini rompi, bisa mati kena peluru OPM.” Aku kaget, “Apakah di sini ada OPM?” Orang itu tetap menjawab dengan sangat serius. “Kata Bapak Uskup, kami semua OPM. Bapak Uskup juga OPM. Kami Orang Papua yang Merdeka. Itu kata Bapak Uskup. Kami tidak tahu apa maksud Bapak Uskup. Tetapi ini rompi harus Bapak Pakai. Maka aku pun mengenakan rompi itu, dan ya ampun! Berat sekali ternyata! Ini rompi dari bahan apa kok beratnya seperti ini?
***
Saya bertanya ke Melani, mengapa pada malam pertama itu ia tidur di kamar saya. Saya sama sekali tidak tahu, sebab begitu memasukkan badan ke kantung tidur langsung terlelap. Kebiasaan saya tidak pernah mengunci pintu kamar. Ketika pagi-pagi bangun, saya memang melihat Melani ada di kamar, tetapi saya mengira ia masuk pagi itu untuk sesuatu yang harus ia persiapkan. Ternyata Melani memelototi saya, “Kalau tidak masuk ke kamar ini, dan mengunci pintu dari dalam, saya sudah digilir tiga bapak-bapak yang sangat kekar.” Pasti. Kata Bapak Uskup, mereka pasti mabok. Sudahlah, kita memang terpaksa harus melupakan apa saja yang sebaiknya kita lupakan. Sambil terus mengingat-ingat apa saja yang seharusnya kita ingat-ingat dengan sangat cermat.
Kamu masih ingat kan Melani, ini bukan Jakarta. Maka kita semua harus ekstra hati-hati. Maka apakah kamu sudah memakai rompi? Aku yakin tubuh Melani yang kecil itu akan jadi lucu kalau harus diberi rompi, lalu ia harus memakai blus, atau apa saja di bagian luarnya. Jangan-jangan ia tidak mau mengenakan rompi itu? Seharusnya kita memang mengenakan sesuatu yang penting, dan mendesak untuk kita kenakan. Maka saya minta izin kepada Bapak Uskup, apakah dalam pertunjukan ini nanti boleh mengenakan kain sarung? Bapak Uskup menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seraya menjawab, “Untuk Bung, apa sih yang tidak diperbolehkan? Andaikan Bung minta izin untuk pakai koteka pun aku harus kasih izin. Silakan, monggo. Ya, aku memang Flores. tepatnya Manggarai, tetapi ngomong Jawa iso. Kromo inggil sekedik-sekedik! Lha wong Seminari Tinggi saya di Kentungan kok!”
“Tapi saya akan menjawab kritikan anak buah Bung itu. Ya, Bu Melani itu. Keuskupan membiayai penerbangan sekian banyak orang dari Jakarta, memang benar. Tetapi saya akan cerita yang lain. Dulu para mahasiswa di sini pernah usul agar saya mendatangkan seniman besar nasional kemari. Kebetulan saya pribadi kenal baik dengan beliau, maka langsung saya hubungi. Di luar dugaan beliau minta dibayar seratus juta. Lha saya bilang keuskupan tidak punya uang sebanyak itu. E, beliau enak saja bilang bahwa saya bisa minta ke Freeport. Saya juga langsung bilang bahwa saya ini uskup, bukan peminta-minta. Tampaknya beliau agak tersinggung saya jawab begitu, dan itu semua saya sampaikan ke para mahasiswa.”
Baiklah, semua sudah sangat jelas. Tak akan ada pertunjukan. Mereka hanya akan menyaksikan orang duduk-duduk, satu dua memang akan ada yang berdiri di panggung, lalu semua akan mengoperasikan tangan-tangan mereka, hingga alat-alat mahal yang diangkut dari Jakarta itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Bunyi alat-alat itu memang tidak ada yang seperti teriakan perang, suara burung, atau jerit babi yang ditusuk aortanya sebelum dipotong-potong dan dipanggang. Mengapa bunyi-bunyian itu perlu diperdengarkan ke mereka? Semua hanya sebuah konsensus. Tapi sejak awal, saya hanya mengira bahwa yang akan terjadi hanyalah basa-basi. Para undangan akan berpura-pura mengapresiasi dengan tepuk tangan. Itu gampang sekali sebab cara bertepuk tangan sudah diajarkan sejak anak-anak, oleh para ibu guru TK.
***
Kadangkala aku juga agak kikuk ketika ada bapak-bapak atau ibu-ibu memanggil saya dengan sebutan Romo. Itu kan sebutan untuk pastor, padahal saya ini bukan pastor. Sulit sekali menjelaskan hal ini, tetapi tetap harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya. Melani sangat bisa diandalkan dalam hal ini, hingga tahu-tahu semua sudah sangat rapi. Aparat pemerintah berjajar rapi di kursi kehormatan deretan paling depan. Di depan meja mereka ada minuman air dalam botol plastik, ada juga buah impor. Mereka duduk menghadap panggung, dan kuping mereka sudah terpasang di kiri maupun di kanan. Hanya kadangkala kuping kanan mereka, mereka paksa untuk mendengar suara dari sebuah kotak kecil gepeng berwarna hitam, dengan tombol-tombol banyak sekali.
Rakyat juga sudah siap untuk menyaksikan para pejabat itu bertepuk tangan, dan itu adalah komando bahwa mereka juga wajib ikut bertepuk tangan. Tepuk tangan mereka juga harus sopan, lalu bisa dihentikan serentak ketika tiba saatnya untuk berhenti, tanpa perlu diberi aba-aba secara resmi. Teratak yang dibangun darurat itu cukup kokoh, beratapkan daun sagu, dan setelah pidato-pidato, setelah sambutan-sambutan, rombongan dari Jakarta itu pun lalu memperdengarkan bunyi-bunyian dari peralatan yang mereka bawa. Begitu alat-alat itu dibunyikan, serentak para undangan bertepuk tangan, dan segera disusul oleh rakyat yang juga bertepuk tangan ramai sekali.
Tapi biarkan saja. Drum, gitar, piano, bas, apalagi? Tepuk tangan itu juga sangat keras. Lampu sorot itu bukan hanya terang tetapi juga panas hingga tubuh yang di panggung menjadi gerah dan berkeringat. Tapi ketika lampu sorot itu padam, juga lampu-lampu yang lain, maka kedengaran jerit ramai sekali. Ketika lama sekali lampu tidak kunjung menyala, semua bertanya-tanya. Ketika kedengaran suara tembakan maka yang kupikirkan apakah Melani sudah benar-benar mengenakan rompinya? Lho, apakah ia juga mendapatkan jatah rompi? Jangan-jangan hanya aku seorang yang diberi rompi. Beberapa orang lalu menyorotkan lampu senter. Lalu ada tembakan lagi. Lalu aparat kepolisian menjadi sangat sibuk. Itulah, tak ada yang bisa dipertunjukkan. Semua gelap, tapi tetap ada yang bisa diperdengarkan: jeritan, tembakan, dan suara yang gaduh.

Senin, 21 Januari 2013

Memories

In this world you tried
Not leaving me alone behind
There's no other way
I'll pray to the allah let him stay

The memories ease the pain inside
Now I know why
All of my memories
Keep you near
In silent moments
Imagine you'd be here
All of my memories
Keep you near
The silent whispers, silent tears

Made me promise I'd try
To find my way back in this life
I hope there is away
To give me a sign you're okay
Reminds me again
It's worth it all
So I can go home


Together in all these memories
I see your smile
All the memories I hold dear
Darling you know I love you till the end of time

Hello

Playground school bell rings again
Rain clouds come to play again
Has no one told you she's not breathing?
Hello, I am your mind giving you someone to talk to

Hello

If I smile and don't believe
Soon I know I'll wake from this dream
Don't try to fix me, I'm not broken
Hello I am the light living for you so you can't hide
Don't cry

Suddenly I know I'm not sleeping
Hello, I'm still here
All that's left of yesterday

Kamis, 03 Januari 2013

Tenggelam Dalam Duka & Bayang iLusi

Kala malam berselimut kelam
Seribu sepi bias alam mimpi
Kabut hitam membelenggu hidup
Tenggelam ditelan duka

Jauh kubentangkan tangan
Kutatap masa demi masa
Hayal kuhadapi hidup ini
Yang ter-rangkai dalam genggaman mu

Tenggelam ditelan duka
Menepiskan bahagia
Berikan pedih dihati
Lepaskan segala derita

Titik bahagia berselimut dosa
Mimpi-mimpi datang dan pergi
Tercapai doa yang menyiksa
Nan kelam jagat raya

Menyambut datang angin malam
Yang berhembut lembut membelai
Berikan rasa pedih di hati
Lepaskan derita yang menyiksa

Sendiriku menatap sunyi
Sendiriku melangkah pergi
Kucoba untuk berlari
Mengejar semua
Bayang  ilusi...

Melamunku Rasakan hati
Melantunku syairkan mimpi
Kucoba untuk bernyanyi
Mengejar semua
Bayang ilusi...

Melayang  terbang lewati malam
Melayang tenang diatas awan
Melangkah pelan lewati  malam
Melangkah pelan menggapai angan

Rabu, 02 Januari 2013

R.I.P

Aku pernah memegang pisau, dan dengannya aku pernah ingin mengiris nadi di lenganku. Tapi apa kau tahu, bahwa tawamu yang terbahak-bahak bagai setan itu mengurungkan niatku karena ternyata kau sudah menungguku di gerbang neraka. Aku juga pernah melarikan diri dengan mobil jeepku, bukan sekedar lari tapi berkelebat cepat laksana petarung dengan ilmu ginkhang tingkat tinggi pada kecepatan 120km/jam demi mengejar kematian. Tapi apa kau tahu, seringai buasmu bak serigala setahun tak makan itu membuatku mendadak menginjak rem sampai habis. Pengejaran ujung nyawa itu berakhir karena aku tak mau mati demi setan berjubah yang berpesta pora di neraka sana.




Sempat terpikir olehku

Tuk mengakhiri kehidupan ini

Entah setan apa yang meracuni pikiran


Hingga mengelabui akal sehat

Semua terjadi begitu saja

Neraka seolah didepan mata

Seakan mengajakku kesana



Aku hanyalah segumpal kesepian

Yang bisa makan,tidur dan berjalan

Aku hanyalah segumpal kesepian


Yang dihiasi dosa-dosa bertaburan

Dengan secuil amal yang asal-asalan

Aku hanyalah segumpal kesepian

Yang berkawan dengan keputusasaan

Yang berteman dengan kegelisahan

Yang bersahabat dengan kebingungan




Sekian lama aku berharap
apakah ini yang ku dapat
senang tak kunjung datang
kebencian slalu meliputi
sejak dikau pergi raga ini slalu menanti
sayang sribu sayang engkau datang bersama lelaki
sakit,sakit,sakit hati ini
sungguh kejam dirimu
mengungkiri janji janji sesuci embun pagi
cinta yang murni kian tersakiti
apa ini hasil penantian slama ini
oh tuhan jika ini takdir yang engkau beri
aku iklas
aku ridho
aku percaya ini jalan yang yang terbaik untuk umat MU yang hina dina ini
aku hanya punguk merindukan rembulan
hanya berharap tak dapat menggapai



bisa melambungkan angan tak dapat mencapai
begitulah nasip orang tak punya apa apa
berharap puteri menerima apa adanya
sungguh langka
kini ia bagai kumbang kelana di musim gugur
yang tiada bunga ,tiada dedaunan nan hijau
yang ada hanya jejatuhan daun kering
mentari yang terik menyengat raga
oh kumbang kasihan nasip mu
sabar
tabah
iklas lah
ini jalan terbaik untuk langkah sayapmu
terus kah bertahan sampai musim bunga nan indah
harum dan wewangian menyebar ke dalam jiwa
sampai kebahagiaan mendatangi hati dan raga







Kau tampak berbeda
Tak lagi hangat seperti dulu
Tampakmu berubah menjadi beku
Hingga untuk menyapamu saja aku masih tak kuasa…
Semudah inikah kau membiarkanku jauh darimu
Mengharapmu dan kau tetap pada pendirianmu
Dengan alasan hati yang tak bisa dipaksa
Kau menatapkku seolah tak berdaya….
Perpisahan ini menyisahkan asa yang lara
Entah mengapa semuanya rapuh
Hingga sekeping harapan pun tak tersisa
Pergilah cinta
Bawa lukaku bersamamu….
Melangkah letih tanpa arah
Ditemani sepi yang tak kunjung pudar
Hujan pun menangis melihat asaku terluka
Dengan setia dia meyakinkanku untuk pergi darimu…
Hariku bagai dipenjara
Tak ada lagi senyum ceria
Hanya kenangan yang tersisa
Seraya terhanyut akku menundukkan kepala
Menghela nafas untuk keheningan yang melanda…
Andai kita masih bisa mengulas kisah
Membalikkan pikiran,
Mengulang kembali yang telah terjadi
Rasanya hati ingin menyentuhmu
Mengajakmu kembali ke kisah itu
Hingga semuanya terasa lebih indah dan nyata…
Namun aku sadar
Kadang apa yang kita sentuh
Bukanlah hal yang paling indah
Melainkan bagaimana cara kita berusaha
Meraihnya dengan tak kenal asa…
Aku dan kamu sesungguhnya masih saling membutuhkan
Tapi perbedaan yang mengahalangi
Mengajak kita kearah yang seharusnya tak ditempuh
Menutup diri masing-masing
Namun tak dipungkiri luka itu membuat kita mengerti
Hingga harus jauh seperti ini…
Akku ingin memiliki setangkai semanggi berdaun empat
Mencoba menela’ah sebuah harapan
Menginginkan semua luka ini terhempas oleh indahnya janji
Menyambut janji itu datang kembali
Inginku merajut asa dalam cita cinta yang abadi..
Selamat tinggal kasih..
Asakku karenamu tak bisa berdalih
Jika akku masih inginkan mu kembali
Tapi setidaknya caramu membuatkku mengerti
cinta yang dulu telah menjadi luka disini….
1 dalam benakku yang membelenggu
Cuma Kamu yg membalut Asakku…
Asa dalam diamku..




Sempat terpikir olehku
Tuk mengakhiri kehidupan ini
Entah setan apa yang meracuni pikiran
Hingga mengelabui akal sehat

Semua terjadi begitu saja
Neraka seolah didepan mata
Seakan mengajakku kesana



Kutak mampu melewati kerikil kehidupan
Semua jalan seperti buntu
Hari-hari kujalani penuh keraguan
Tanpa pernah merasa bersyukur
Dengan segala yang ada
Dalam hati bertanya-tanya
Tuhan dimanakah engkau
Mengapa aku seperti ini
Apa karena aku terus menjauhimu?








Andaikan harus, Aku beranjak pulang


Mestikah ku bawa kerikil - kerikil ini


Ketika kaki, Terpaksa juga melangkah


Mengapa harus luka yang aku tinggalkan




Ratapan, Tak ubah bagai  impian


Begitu lembut mengoyak nurani ku


Banyak ingin terbesit di benak ku


 Namun semuanya hanyalah bayang - bayang




Engkau adalah aura ku


Namun englau juga air mata ku


Engkaulah hitam ku yang kemarin


Benar - benar hitam ku yang kelam







Sirna sudah harapanku…
Kini engkau tlah dimiliki oleh orang lain…
Kini yg ada hanya tetes air mata…
Yang menyesali smua ketidak snggupan tuk menyatakan,,,,
Perasaan yang ada dlam diri sahabatmu ini,,,,,



berjalan di antara kegelapan mlm
hanya untuk mencari sebuah tempat bersembunyi
langkah yg kian terasa tertatih
mengiringi sebuah jejak yg kian terasa lelah

takut…
gelisah…
semua kian terasa nyata hadir bersama sebuah kesunyian yg tak pernah ada ujung

tak ada lagi yang mencintai
dan tak tau lagi siapa yg di cintai..??

kini yg bisa dilakukan hanyalah menggali lubang kubur
menyiapkan kafan untuk mengganti pakaian kumalku…





Ditengah malam syahdu nan pekat
Ku teringat pada mu, bayangmu
Selalu melintas di kelopak mataku
Ku coba untuk melupakanmu

Namun bayang mu, trus menghampiriku
Sunyiku kau tabur bunga rindu
Kau bagai angin yang sejukkan
Jiwa ragaku…

Namun kini, sia-sia sudah mahligai cintaku
Mimpi indah tiada lagi, sirna terbakar
Kayu arang abu…
Ku coba bertanya pada malam
Dia membisu

Angin berlalupun, tak memberikan
Jawaban,,
Hanya satu yang terucap
Mengapa aku mencintaimu…

Dan mengapa aku terlahir untuk terluka…
Ku sadar, cinta tak harus memiliki
Tapi ku tak bisa, ku tak rela
Mungkin ada yang lebih dariku….

Sampai datang masa pertemukan kita
Untuk kembali, atau terpisah selamanya…
Sungguh hina diriku
Mencintai orang yang tak mencintai ku
Dan takkan pernah menyayangiku..

Mengapa aku di pertemukan denganmu
Musim gugur dihatiku…
Seakan tumbuh bersemi
Titian cintaku pupus begitu saja

Tiadakah iba dihati mu…
Tiadakah rasa ntuk ku….
Kau berlalu menuju impian mu yang baru..

Rinduku sudah kau lara…
Sayang ku kini t’lah kau buang
Mungkinkah aku tercipta
Hanya untuk disakiti dan dihina???

Apakah ini suatu cobaan untukku??
Apakah ini suatu goresan hati yang luka??
Yang tak bisa sembuh
Walau penawar vdari mana pun…

Semoga kau bahagia
Tanpa sosok bayanganku…




Aku hanyalah segumpal kesepian
Yang bisa makan,tidur dan berjalan
  
Aku hanyalah segumpal kesepian
Yang dihiasi dosa-dosa bertaburan
Dengan secuil amal yang asal-asalan
  
Aku hanyalah segumpal kesepian
Yang berkawan dengan keputusasaan
Yang berteman dengan kegelisahan
Yang bersahabat dengan kebingungan 




Hari-hari bagai malam tanpa bulan
Gelap gulita oleh awan hitam kebencian
Gerimis darah dan air mata
Menyirami negri yang terluka

Tak ada lagi senja yang indah
Sirna bersama ramah yang musnah
Tak ada lagi damai yang bersemi
Lenyap tersapu badai amarah dan benci

Malam yang kemudian tiba
Hanya mempertebal duka dan menderaskan air mata
Bulan enggan keluar
Takut kena terkam dendam yang liar

Jika esok hari masih menyapa negri
Akankah disertai matahari?
Ataukah tetap gelap mencekam

Bagai malam berselimut kelam