Rabu, 26 Desember 2012

tentang dia :)

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak: ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu.

Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu.
"Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta.
"Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini."

Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya.

"Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta.
Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan.

"Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!", teriak Cinta.
"Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya.

Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan.
"Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta.
"Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..." kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!"
Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.

Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu. Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu.
"Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu." kata orang itu.
"Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku" tanya Cinta heran.
"Sebab," kata orang itu, "hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu ..."

Kamis, 20 Desember 2012

Sepanjang Hidup

Aku bersyukur kau di sini kasih 
Di kalbuku mengiringi 
Dan padamu ingin ku sampaikan
Kau cahaya hati 
Dulu ku palingkan diri dari cinta 
Hingga kau hadir membasuh segalanya 
Oh inilah janjiku kepadamu
 
Sepanjang hidup bersamamu 
Kesetiaanku tulus untukmu 
Hingga akhir waktu kaulah cintaku cintaku 
Sepanjang hidup seiring waktu 
Aku bersyukur atas hadirmu 
Kini dan selamanya aku milikmu
 
Yakini hatiku kau anugerah 
Sang Maha RahimSemoga Allah berkahi kita 
Kekasih penguat jiwaku
Berdoa kau dan aku di Jannah 
Ku temukan kekuatanku di sisimu 
Kau hadir sempurnakan seluruh hidupku
Oh inilah janjiku kepadamu

Yakini hatiku bersamamu ku sadari inilah cinta 
Tiada ragu dengarkanlah 
Kidung cintaku yang abadi

surat kecil untuk tuhan

Tuhan . . .
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada tangisan didunia ini

Tuhan . . .
Andai aku bisa kembali
Aku berharap tidak ada lagi hal yang sama terjadi padaku terjadi pada orang lain

Tuhan . . .
Bolehkan aku menulis surat kecil untuk-Mu

Tuhan . . .
Bolehkah aku memohon satu hal kecil untuk-Mu

Tuhan . . .
Biarkanlah aku dapat melihat dengan mataku
Untuk memandang langit dan bulan setiap harinya

Tuhan . . .
Izinkanlah rambutku kembali tumbuh agar aku bisa menjadi wanita seutuhnya

Tuhan . . .
Bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi
Agar aku bias memberikan kebahagiaan kepada ayah dan sahabat-sahabatku

Tuhan . . .
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku bisa memberikan arti hidup kepada siapapun yang mengenalku

Tuhan . . .
Surat kecilku ini
Adalah surat terakhir dalam hidupku

Andai aku bisa kembali . . .
Ke dunia yang Kau berikan padaku

Minggu, 16 Desember 2012

-E.n.D-

Hari ini hari Sabtu, Rey datang pagi-pagi ke sekolahnya, karena harus mengumpulkan tugas fisika yang sudah agak terlambat ke ruang guru sebelum wali kelasnya itu datang, pria berkacamata itu memang sering terlambat mengumpul tugas, apalagi tugas fisika, setelah berhasil melakukan ‘penyelundupan’ tugas, Rey cepat-cepat menuju ruang kelasnya.
“Hai, Erika! Wah rajin ya, pagi-pagi begini sudah belajar.” Ucap Rey yang baru saja masuk ke ruang kelas.
Erika hanya diam saja, ia sedang memandang foto seorang pria yang tampaknya memiliki memori yang dalam di hatinya.
“Hei, Erika? Kamu tidur ya??” Ucap Rey lagi dengan agak kesal karena tegurannya tidak mendapat respon dari Erika.

“Oh, Rey, maaf tadi aku tidak mendengarkan.” Ucap Erika dengan tenang seperti baru saja terbangun dari mimpinya dan buru-buru menyembunyikan foto itu kembali ke dalam dompetnya.
Rey duduk disamping tempat duduk Erika dan ikut melihat apa yang dilakukan olehnya, dilihatnya buku kumpulan cerpen ada disitu.
“Haha, ku kira kamu lagi belajar. Rupanya baca cerpen ini ya??” Ucap Rey sambil tertawa.
“Hmm.. Iya, lagipula hari ini tidak ada mata pelajaran yang sulit ‘kan?” Ucap Erika sambil tersenyum ke arah Rey.
“Haha.. Memang bagi kamu mata pelajaran hari ini tidak ada yang susah, tapi kalau aku, baru mendengar kata ‘fis’ dari ‘fisika’ saja sudah membuatku pusing, whew.” Keluh Rey.
“Tumben kamu datang pagi?” Tanya Erika.
“Hehe.. Maklum, harus ‘menyelundupkan’ tugas dulu..” Ucap Rey.
“Hehe, Rey, kamu tidak takut ketahuan apa?” Canda Erika sambil tertawa.
Selang berapa lama mereka mengobrol, datang sesosok pria dengan senyum lebar di bibirnya menuju ke arah Erika.
“Hai, cantik! Waah, pagi-pagi begini sudah belajar, ya?” Ucapnya.
“Duuh, Alex ya.. Tolong jangan panggil aku dengan sebutan cantik ya.” Ucap Erika dengan ketus.
“Haha.. Iya iya maaf..” Ucap Alex sambil sekali lagi tersenyum ke arah Erika, lalu menuju ke tempat duduk nya.
“Hmm, Alex.. Pantang menyerah sekali ya dia?” Ucap Rey sambil tersenyum kepada Erika.
Alex memang teman Erika semenjak dari SMP dulu, dan sudah bukan menjadi rahasia lagi kalau sebenarnya Alex jatuh cinta kepada Erika dan terus mengejarnya semenjak dari SMP. Namun dibalik semua itu, dan memang masih menjadi rahasia, Rey yang menjadi sahabat Erika saat di SMA kini pun memiliki rasa yang sama seperti Alex.

***

Sepulang sekolah, Alex menemui Erika di depan gerbang sekolah, karena biasanya Erika menunggu jemputan disitu.
“Hai, can.. Oh, maaf, Erika, hmm, besok kamu senggang?” Tanya Alex.
“Kita jalan-jalan, yuk.” Ajak Alex.
“Hmm, aku masih tidak tahu, karena besok pagi aku harus ke rumah Rey untuk mengerjakan tugas kelompok.” Ucap Erika.
“Tidak apa, biar aku tunggu dan nanti langsung aku jemput ke rumah Rey, bagaimana?” Ucap Alex lagi.
Nampaknya Alex memaksa sekali ingin mengajak Erika pergi bersamanya, Erika yang karena tidak enak menolak ajakan Alex pun menyetujuinya.

***

Keesokan siangnya, Alex pergi ke rumah Rey dengan menunggang sepeda motornya untuk menemui Erika. Dan kebetulan mereka sudah menyelesaikan tugas kelompok dan Erika memang menunggu Alex dari tadi.
“Wah, sudah menunggu ya? Maaf ya agak terlambat.” Ucap Alex pada Erika.
Rey menatap Alex dengan terkejut dan mata curiga.
“Huh? Alex ya? Ku dengar Erika mau pergi dengan seseorang, rupanya kamu ya??” Ujarnya sambil tertawa.
“Kenapa nada bicaramu seperti itu? Memangnya aku ini jenis pria yang berbahaya ya??” Protes Alex.
“Aku tidak bisa bilang kalau kamu juga pria yang ‘aman’.” Ujar Rey lagi.
“Ah, sudahlah, jangan berdebat lagi, jadi pergi tidak?” Tanya Erika kepada Alex.
“Iya iya, yuk naik.” Ujar Alex sambil menyalakan mesin sepeda motornya.
“Sampai jumpa, Rey.” Ucap Erika.
“Ya, hei, Alex, hati-hati, jaga Erika baik-baik.” Ucap Rey.
“Ok! Pergi dulu, Rey.” Ucap Alex sambil pergi bersama Erika.
Alex mengajak Erika pergi ke salah satu mall di daerah sana, mereka pergi nonton ke bioskop, makan bersama di restaurant, dan lainnya. Mungkin sama hal nya seperti kencan bagi Alex, namun Erika berpendapat lain, ia pun mau di ajak pergi hanya karena tidak enak menolak ajakan Alex kemarin.
Tiba saatnya mereka harus pulang, karena hari sudah hampir malam.
“Hei, Erika, kalungnya bagus sekali ya? Dapat dari mana?” Tanya Alex yang memang semenjak tadi memperhatikan kalung yang dipakai Erika, tidak ada yang special dari kalungnya, mungkin hanya liontin kalungnya yang bertuliskan ‘E.N.D’ yang telihat unik.
“Hm? Oh, ini pemberian dari seorang pria yang pernah mengisi hatiku yang sudah meninggal 2 tahun yang lalu…” Ucap Erika pelan.
“Wah, maaf ya Erika.. Aku tidak bermaksud..” Ucap Alex pada Erika.
“Ya, tidak apa, kenapa kamu tiba-tiba tertarik pada kalung ini?” Tanya Erika heran.
Tidak heran, semenjak SMP hingga sekarang Erika tidak pernah mengenakan kalung itu ke sekolah.
“Hm.. Tidak, hanya saja sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya..? Boleh aku lihat sebentar?” Tanya Alex.
Erika melepaskan kalung yang dikenakannya dan memberikannya pada Alex. Alex pun mencoba memutar kembali memori nya dimana ia pernah melihat liontin kalung itu sebelumnya.
“Copeeett!!” Tiba-tiba ada seorang ibu muda yang berteriak minta tolong karena ada pencopet yang baru saja mencuri tas nya.
Dan tak disangka-sangka, pencopet yang sedang berlari dengan sekuat tenaga itu menabrak dan menerobos Erika dan Alex, sehingga membuat Erika terjatuh dan kalung yang berada di genggaman tangan Alex terlepas, kalung itu terjatuh di pinggir selokan disitu, Alex berusaha secepatnya memungut kalung itu kembali, sialnya, para pengunjung lain datang berlarian mengejar pencopet yang melarikan diri tadi, dan hasilnya, kalung yang sangat berharga bagi Erika itu pun masuk ke dalam selokan disitu, akibat terinjak-injak kaki orang-orang yang memang tidak disengaja itu.
“Oh, tidak.. Kalungnya..” Ucap Alex pelan sekali, bahkan hampir tidak kedengaran suara sedikitpun.
Erika langsung menuju ke selokan disitu, mencoba memasukkan tangannya di celah-celah selokan yang memang sangat sempit dan mencari kalung yang sangat berharga baginya itu.
“Erika…” Ucap Alex.
Erika menangis, seperti baru saja kehilangan penopang hidupnya, hingga Alex mendekatinya dan mencoba menghiburnya.
“Erika, sudahlah… Biar aku yang mencarinya nanti..” Ucap Alex.
“SUDAHLAH!? KALAU SAJA KAMU TIDAK MEMINTAKU UNTUK MELEPAS KALUNGNYA, SEMUA INI TIDAK MUNGKIN TERJADI! KINI SATU-SATUNYA PENINGGALAN DAVID SUDAH HILANG! SEMUA GARA-GARA KAMU! AKU BENCI PADAMU! AKU TIDAK INGIN MELIHATMU LAGI! PERGIII!!” Bentak Erika sambil pergi meninggalkan Alex. Erika memanggil taxi, dan pergi meninggalkan Alex begitu saja.
“David…?” Ucap Alex heran.
Nama itu mengingatkan dirinya kepada seseorang, seseorang yang tak asing, bahkan sangat dekat dengannya.
Malam harinya, hujan, Alex masih tetap disitu, mencari cara bagaimana mengambil kalung itu kembali dari selokan itu, namun hasilnya nihil, celah selokan disitu pun sangat sempit, lagipula arus air yang mengalir diselokan itu cukup deras, entah kalung itu sudah terbawa arus atau belum.
“Wah, gawat.. Bagaimana nih..” Ucap Alex bingung.
“Hei, masih disini?? tidak ada gunanya juga kamu mencarinya lagi, selokannya tidak bisa dibuka ‘kan?” Ucap seseorang dibelakang Alex.
Rupanya itu Rey, ia tersenyum, sambil memberikan payung kecil kepada Alex yang telah basah kuyub. Rey lalu mengajak Alex ke cafe terbuka disana. Rey memesan minuman hangat untuk mereka berdua kepada pelayan.
“Hmm… Rey…” Ujar Alex.
“Yaa, Erika sudah cerita semuanya, tadi dia ke rumah ku.” Ujar Rey. “Lalu, aku harus bagaimana??” Ucap Alex dengan nada bicara seperti orang yang sangat kesusahan.
“Tampaknya Erika sedih sekali, aku pun akan bingung kalau jadi kamu, mau tidak mau harus bertanggung jawab.. Hmmm…” Ucap Rey.
“Rey, kamu menyukai Erika kan?” Tanya Alex.
“Huh? Kenapa bertanya seperti itu?? Sudahlah, bukan saatnya membicarakan masalah itu.” Ucap Rey.
“Kalung itu, dulunya milik kakakku.. Pantas saja aku seperti pernah melihatnya, saat itu aku dan Erika masih SMP, dan kami masih belum saling mengenal satu sama lain.. Kakakku tinggal bersama paman dan bibi di sini, sedangkan di tempat lain aku ikut dengan ayah dan ibu, makanya aku jarang bertemu dengan kakak.. Barulah ketika ke rumah paman dan bibi aku bisa bertemu dengan kakak. Saat itu kakakku berkata bahwa ia baru saja punya pacar, dan membuatkan liontin kalung sebagai hadiah untuk perempuan itu. Namun sial… Kakakku meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas sepulang dari rumah perempuan itu… Tak kusangka… Perempuan itu adalah Erika, karena memang sebelumnya aku tidak pernah melihat pacar kakak, dan saat pemakaman kakak pun ia tidak datang.. Kalung yang diberikan kakak pun tidak pernah ia kenakan ke sekolah.. Aku baru sadar ketika Erika menyebut nama kakakku.. David.. Jadi itu arti liontin itu, ‘E.N.D’… Erika N David…” Cerita Alex panjang lebar kepada Rey dengan nada sedih.
“Benarkah..? Aku pun baru tahu.. Erika tidak pernah menceritakannya kepada ku… Hei, Alex… Jangan bersedih begitu.. Kamu juga menyukai Erika ‘kan? Kamu harus bisa membahagiakannya, jangan buat kakakmu bersedih disana..” Ucap Rey dengan tenang.
“Tapi.. Rey..” Ucap Alex.
“Sudahlah.. Aku masih bisa terus menjadi sahabatnya.. Lagipula, kamu yang pertama menyukainya ‘kan..” Ucap Rey sambil tersenyum.
“Aku punya ide.. Kamu masih bisa mengganti kalung itu.. Buatkan saja ia kalung baru.. Sama seperti milik kakakmu waktu itu, toh kamu masih ingat modelnya ‘kan?” Lanjut Rey.
“Aah! Iya! Kenapa tidak terpikir dari tadi! Rey, terima kasih, mungkin kalau kamu tidak datang, aku masih kebingungan duduk-duduk didekat selokan disitu.” Ucap Alex berseri-seri.
“Haha.. Baru sifat asli kamu bisa keluar sekarang..” Ujar Rey sambil tertawa.
“Ya sudah, aku akan memesan liontin itu sekarang, supaya lebih cepat selesainya nanti.” Ucap Alex sambil berlari mengambil sepeda motornya.
“Hei, mau ku temani?” ucap Rey setengah berteriak.
“Tidak perlu, kamu bayarkan minumannya saja, hahaha!” Balas Alex sambil pergi dengan sepeda motornya.

***

Keesokan harinya disekolah.
“Yo! Alex, Bagaimana?” Tanya Rey sambil menghampiri tempat duduk Alex.
“Yaah… Kata nya butuh 5 hari untuk membuat kalungnya.” Keluh Alex.
“Hmm.. Ya sudah sabar saja..” Ucap Rey tenang.
“Berarti 5 hari lagi juga Erika tidak berteguran dengan ku!” Keluh Alex lagi.
“Hahaha, iya nanti aku akan coba bujuk Erika.” Ucap Rey sambil beranjak dari kursi.
“Rey, sekali lagi terima kasih.” Ucap Alex.
“Ya. Tenang saja.” Ucap Rey sambil tersenyum.
Rey menghampiri tempat duduk Erika.
“Hai, Erika!” Sapa Rey.
“Ya.. Ada apa Rey?” Ucap Erika tenang.
“Tentang Alex…” Belum selesai Rey bicara, Erika sudah menyahut.
“Aku tidak ingin membicarakan tentang dia lagi!” Ucap Erika dengan nada cuek.
“Dengarkan dulu Erika... Dia ‘kan tidak sengaja membuat kalung itu hilang? Apa dia patut kamu musuhi sedangkan dia saja tidak bermaksud menghilangkannya?? Erika… Percaya atau tidak, Alex adalah adiknya David… Apa kamu tidak mau membahagiakan arwah David disana?? Dia bahkan mau berkorban ingin membuatkanmu kembali kalung yang sama.. Apa pengorbanannya masih belum cukup bagimu??” Ucap Rey meyakinkan Erika.
Erika sedikit terkejut mendengar kata-kata Rey, namun ia masih diam saja dan pura-pura tidak mendengarkan kata-kata Rey.
“Erika!” Ucap Rey sedikit nyaring.

***

Sepulang dari sekolah Erika pergi ke rumah Rey.
“Erika?” Ucap Rey heran.
Erika menangis dan memeluk tubuh Rey. Rey pun mencoba menenangkannya dengan mengajaknya duduk di ruang tamu.
“Rey... Kamu tidak tahu betapa aku kehilangan David pada hari itu… Maka nya aku begitu merasa kehilangan ketika kalung pemberian darinya hilang, aku seperti kehilangan cahaya dihatiku, Rey…” Ucapnya tersedu-sedu.
“Aku mengerti Rika… Tapi itu tidak berarti kamu kehilangan segalanya ‘kan.. Dan itupun bukan berarti kamu boleh membenci Alex… Apa kamu tidak lihat bagaimana usaha yang dilakukan Alex hanya untuk kamu… Semuanya untuk membahagiakan kamu…” Ucap Rey.
Erika semakin menangis tersedu-sedu. Cukup lama Rey mencoba menenangkan tangis kesedihannya.
“5 hari dari sekarang, Alex akan memberikanmu kalung yang sama seperti milik kakaknya dulu… Kamu harus meminta maaf kepada Alex secepatnya… Jangan biarkan dia terus merasa bersalah… Ya?” Tanya Rey pada Erika.
Erika mengangguk perlahan.

***

5 hari kemudian, malam hari, Rey dan Erika menunggu Alex di rumah Rey.
“Rey, aku benar-benar tidak menyangka kalau Alex adalah adiknya David, pantas saja, aku seperti melihat bayang-bayang David apabila menatap Alex.” Ucap Erika pada Rey.
“Yah, kamu bisa bertanya selengkapnya pada Alex ketika dia datang nanti.” Ucap Rey sambil tersenyum.
“Ya, semoga dia lekas datang.” Ucap Erika.
Sementara itu, Alex telah mengambil kalung yang telah dipesannya 5 hari yang lalu, dan sedang dalam perjalanan menuju rumah Rey dengan sepeda motornya, di tengah perjalanan ia kembali melihat dan mengamati kalung itu.
‘Wah… Benar-benar mirip sekali kalungnya, seperti milik kakak dulu, ku harap Erika akan senang...’ Batin Alex sambil tersenyum.
Tiba di perempatan jalan, tiba-tiba ada mobil dengan kecepatan tinggi dari sebelah kanan jalan menuju kearahnya…
‘Braaakkkkkkk!!!’

-continued-

*cerpen lengkapnya insya allah bakal d muat d koran kompas...doain ajah ya jak :D
np# http://youtu.be/SNJD-FyruVg

Sabtu, 08 Desember 2012

syaidina ali r.a dan fatimah az-zahra r.a

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ””Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!””Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”’
Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?””Entahlah..””Apa maksudmu?””Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!””Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu.”
Kemudian Nabi saw bersabda: “ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“ Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

(Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4).

Rabu, 05 Desember 2012

17121990

kita harus sadar, bahwa kebahagiaan yg sesungguhnya adalah kebahagiaan yg berada di sekitar diri kita, yaitu keluarga. orang-orang yg kita cintai dan mencintai kita dengan setulus hati. Karena seiring berjalannya waktu, karir kita pada masanya nanti pasti akan surut. Lambat laun kita juga harus menerima kenyataan, jika sebuah popularitas pada saatnya nanti juga akan memudar. Akan tetapi, teori-teori tersebut tidak akan pernah berlaku pada kasih sayang orang-orang di sekitar kita (Keluarga). Karena mereka, akan menerima diri kita secara utuh dalam apapun keadaannya...

anak itu bernama ''odvan dhodet''

Kenapa hidup ini sungguh tak bisa aku mengerti, sedikitpun tak kupahami. Yang seperti kebanyakan orang akan keindahan pernikahan tapi tak berlaku buatku, janggal sekali untukku menyambut hari dimana aku akan menjadi milik orang lain. Bukan sebuah kebahagaian melainkan kehampaan. Teringat lagi akan janji dimasa lalu tentang sebuah pernikahan indah, mengikat ikrar dalam bahtera rumah tangga, namun semua itu pupus sudah. Sebentar lagi aku akan menjadi milik orang lain bukan miliknya.



 “selamat ya ibu indah, akhirnya ibu punya mantu juga.”
 “terima kasih jeng rahmi, alhamdulillah yah..akhirnya si mentari menikah juga.”
Terdengar ucapan selamat dari balik pintu kamarku, yang semakin membuatku tersayat pedih. Ibuku merasa bahagia sekali karena akhirnya aku akan menikah dengan laki-laki pilihannya, yang ibu bilang dia sangat cocok untukku dan pasti aku akan bahagia. Apakah itu benar ibu???tapi mengapa saat ini perasaanku benar-benar sedih, jangankan untuk bersanding dengannya, untuk mencoba mengenalnya saja aku sudah enggan. Entah apa yang ada dibenakku, namun aku belum bisa melupakan seseorang itu, seseorang yang berjanji akan menikahiku sepulang dari rantaunya. Maafkan aku cintaku, bukan maksud hati untuk mengkhianatimu tapi perjodohan ini tak mungkin aku tolak. Kedua orang tuaku dan orangtuanya ternyata sudah membuat kesepakatan akan pernikahan ini sebelum kami berdua mengerti tentang pernikahan.
               Sekali lagi aku belum bisa memahami ini semua, bagaimana mungkin aku bisa hidup bersama dengan orang yang tak ku cintai, bahkan bertemu saja tidak pernah. Pernikahan ini sungguh mendadak mengingat kondisi bunda Risma orang tua Fariz yang sudah semakin kritis, dan beliau menginginkan agar Fariz segera menikah denganku. Karena keeratan hubungan keluargaku dan keluarganya membuat ayah dan ibuku menyetujui pernikahan ini tanpa peduli dengan persetujuanku.
               “mentari sayang, cepat keluar acara akan segera dimulai”suara itu menyadarkanku dari lamunan panjang, segera ku hapus airmata yang semoat menetes. Aku tak ingin ibu melihat aku terlihat sedih di hari pernikahanku. Bagiku sekarang adalah kebahagiaan mereka, walau hati ini terlalu perih menanggung luka akan terpisahnya cintaku dan cinta satria, maafkan aku satria.
***

               “Muhammad Yakup Al Fariz, saya nikahkan engkau dengan Mentari shifa az zahra binti Muhammad zaenudin dengan mahar seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus tiga puluh ribu, dibayar tunai.” ucap kiai Fatir
               “saya terima nikahnya Mentari shifa az zahra dengan mahar tersebut dibayar tunai.” Fariz dengan mantap mengucapkan ijab.
               “bagaimana sah??” tanya kiai Fatir kepada saksi dan semua orang
               “sah” serempak menjawab.
               “Barokallahu......” kiai Fatir memanjatkan doa, gaungan suara amin pun menyeruak diseluruh ruangan. Kebahagaian dan kelegaan terpancar dari raut-raut setiap orang yang menyaksikan acara sakral itu.
               Dan bagaimana dengan aku, detik ini aku telah resmi menjadi seorang istri dari laki-laki yang tak pernah aku kenal sebelumnya.
***

               “ini mas Fariz kopinya,” ku letakan kopi sebagai pelengkap sarapan pagi yang telah kusiapkan di meja makan.
               “terima kasih dek.” ucap mas fariz lembut.
               Tak ada yang berubah dari perasaanku, walaupun aku telah menikah dengan mas Fariz tapi rasa cinta ini masih bersarang hanya untuk satria yang aku pun sendiri tak tau bagaimana keadaannya sekarang.
               Sebagai seorang istri aku berusaha untuk menjadi istri yang baik, walau belum sepenuhnya aku bisa. Namun aku belum bisa melaksanakan kewajibanku untuk memenuhi kebutuhan biologis mas fariz, tapi dengan penuh kesabaran mas Fariz memahami itu. Setiap malam kami tidur terpisah, sebagai seorang laki-laki mas Fariz tentu tidak ingin melihat seorang wanita tidur diluar kamar, maka dengan pengertiannya itu mas Fariz yang mengalah untuk tidur di sofa, kecuali pada saat-saat tertentu saja saat ibuku berkunjung dan menginap dirumah, tapi itupun mas fariz tetap tidur dibawah bukan satu ranjang denganku.
               Aku tau itu sangat salah,sebagai seorang istri aku tidak berhak bersikap seperti itu, pernah satu kali aku coba tepiskan perasaanku dan berfikir realitis bahwa sekarang aku telah menjadi milik mas Fariz. Saat itu aku siap untuk melayaninya, sengaja aku suruh maz fariz untuk tidur bersamaku dan mengijinkannya untuk melaksanakan kewajiban sebagai suami istri. Dengan perasaan yang tak menentu ku coba tenang, saat mas Fariz mendekat, ku coba untuk tersenyum walaupun itu selintas. Sungguh aku tak kuasa menahan matanya yang tajam, saat itu ingin rasanya aku menangis, airmata ini sungguh sudah meleleh mengingat satria, namun segera ku tahan.
               Dengan tatapannya yang lembut mas fariz menatapku, digenggamnya tanganku. Entah apa yang dia fikirkan saat itu, namun dia terlihat tersenyum manis. Tangannya yang tadi menggengam tanganku kini berganti meraih wajahku, diraihnya wajahku dan tiba-tiba dia mencium keningku seraya mengucapkan selamat malam, setelah itu dia beranjak pergi ketempat biasa dia tidur.
               Aku tak tau harus berbuat apa, sesaat setelah mas Fariz keluar airmata ini langsung tumpah. Entah apa yang aku rasa, bahagiakah aku atau sedih. Namun aku merasa sedikit lega.
***

               Pernikahanku dengan maz Fariz berjalan baik-baik saja, tidak ada pertengkaran maupun perselisihan walaupun keadaannya kami belum bisa melaksanakan kewajiban sebagai suami istri yang sebenarnya.
               Entah terbuat dari apa hati mas fariz itu, hingga hatinya sangatlah lembut. Perhatian-perhatian yang dia curahkan padaku tak pernah ada habisnya. Kelembutan sikap serta santun tutur katanya mengisyaratkan kesabaran yang sungguh luar biasa, apalagi menghadapi sikapku. Dia tak pernah mengeluh padaku, dia tak pernah marah sekalipun kadang aku melakukan kesalahan. Dia selalu memberiku nasihat dengan sikap lembutnya yang tidak membuatku tersinggung. Tapi kenapa hatiku belum bisa menerima kehadiran mas Fariz di kehidupanku, kenapa aku belum bisa mencintainya. maafkan aku mas Fariz.
***

               Ku gelar sajadah panjang, sepertiga malam bagi orang-orang yang merindukan kedekatan dengan Sang Maharaja. Di sepertiga malam itu pun ku panjatkan doa, ku haturkan dzikir serta ku curahkan segala perasaanku. Tak terasa ada rembesan air yang keluar dari kelopak mataku mengingat akan kekhilafanku. Kalam – kalam illahi mengantarkanku hingga menjelang shubuh. Dan kulanjutkan dengan sholat shubuh.
               Mentari di ufuk timur telah memacarkan rona kemerahannya, kicau burung mengantarkan angin kesejukan untuk insan manusia di dunia ini. Secercah harapan dan doa yang hanya Tuhan dan aku yang tau, berharap semua kan terwujud.
***

               Mataku tertuju pada sesuatu yang janggal, merasa aneh dengan keadaan kamarku. Ada benda-benda yang tak mungkin bisa sendirinya ada di sini. Kulihat sekeliling kamar, begitu semua ada perubahan. Warna-warni bunga bertaburan di ranjangku, ada mawar putih yang membentuk hati di sekitar taburan mawar merah. Sungguh indah, bahkan sangat indah dan menakjubkan. Di sisi lain terpajang sketsa wajahku yang dibubuhi nama kecilku “RiRi”. Siapa yang melakukan ini, siapa yang membuat keajaiban ini. Sungguh luar biasa, tak pernah sekalipun kubayangkan tentang moment seperti ini. Mungkinkah mas Fariz...?????? Tapi dia bilang dia sedang ada rapat dan mungkin akan pulang terlambat hingga malam nanti, lalu siapa yang telah mempersiapkan ini.
               Di tengah –tengah hati buatan dari mawar putih itu tegeletak secarik kertas berwarna pink, entah kertas apa itu. Karena penasaran aku segera mengambilnya dan kubaca. Hanya satu kalimat yang aku belum tau apa maksudnya. Hanya tertulis sebuah kalimat “ pergi ke kebun belakang, aku menunggumu” secarik kertas itu lalu kutinggalkan.
               Subhanallah, kejutan apalagi ini. Cahaya lilin menghiasi rentetan jalan yang menuju pada satu titik. Mas Fariz dengan seikat bunga mawar merah menungguku di meja yang dihiasi lilin indah...sungguh kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata, hanya ulasan senyum yang selalu berkembang di bibirku ini. Perlahan kutelusuri jalan setapak yang indah ini.
               “happy brithday dek, selamat ulang tahun mentari.” seikat bunga itu pun dipersembahkan mas Fariz padaku seraya menyilahkan aku duduk.
               Kini aku hanya berdua dengan mas Fariz, ditemani temaram cahaya lilin dan sinar bulan. Perasaanku menjadi tak menentu, sebuah kebahagiaan yang baru kutemukan setelah sekian lama aku merindukannya. Ada secercah cahaya hangat yang menerobos masuk dalam relung hatiku saat kutatap wajah mas Fariz. Rasa apakah ini, setelah bertahun-tahun tak pernah ku rasakan lagi.
               “gimana dek, kamu senang dengan ini. Mas sengaja buat ini untuk hadiah ulang tahunmu. Maaf mas belum bisa memberikan yang lebih dari ini.”mas fariz menggenggam tanganku dan mengecup punggung tanganku.
               Setetes embun yang keluar dari mataku pun jatuh perlahan, dengan senyum yang masih berkembang ku ucapkan terimakasih.” Terima kasih mas, ini hadiah terindah yang pernah adek dapat. Dan ini sudah lebih dari apa pun. Terima kasih mas.”
               Malam ini adalah malam terindah yang pernah aku rasa, kebahagiaan yang dulu sempat hilang kini hadir kembali, dan perasaan itu ada yang berubah. Mungkinkah ini jawaban atas doa-doaku. Amien..semoga saja...!!!
               Kini hari-hariku terasa lain, sejak kejutan malam itu aku merasakan sesuatu yang lain pada diriku, apalagi saat aku berhadapan dengan mas Fariz. Dulu biasa saja saat aku melihat matanya, tapi kini sungguh lain. Hatiku berdebar-debar saat mas menggenggam tanganku, aku juga merasa grogi saat berhadapan langsung dengan mas Fariz. Kenapa ini ??? Ada apa denganku, mungkinkah aku jatuh cinta......????
               Tak tau pasti apa yang aku rasakan terhadap mas Fariz, namun yang pasti rasaku sudah tak seperti dulu lagi. Tak acuh lagi saat dia sibuk dengan kegiatannya, sangat mengkhawatirkannya saat dia pulang terlambat. Dan selalu menyiapkan apa yang mas Fariz butuhkan. Semua itu ku lakukan dengan senang hati, tak ada rasa beban lagi. Dan sejak malam itu, aku dan mas Fariz sudah melunasi kewajiban sebagai suami istri. Mungkinkah ini kebahagiaan menikah seperti yang kebanyakan orang katakan. Entahlah, tapi saat ini aku merasa begitu sangat bahagia dan nyaman.
***

               Hari ini ulang tahun mas Fariz, dan aku akan memberikan kejutan yang luar biasa. Hadiah ini pasti akan membuat mas fariz bahagia. Karena hadiah ini adalah anugerah yang Allah berikan. Tiga bulan sudah usia kehamilanku, sengaja tak ku beritahu maz Fariz karena aku ingin memberikan kejutan pada hari ulang tahunnya. Buah cinta yang kami dambakan, setelah ku bisa mencintai mas Fariz dengan segenap hati. Ketulusan dan kesabaran mas Fariz telah merubah segalanya. Cintanya kini mengisi relung hatiku, penuh dengan untaian doa kebahagiaan.
               Semua pernak-pernik dan tetek bengek untuk mempersiapkan kejutan ulang tahun mas Fariz sudah ku siapkan, sempurna semuanya perfect. Pasti mas fariz akan terkejut dan bahagia sekali saat melihat bukti test kehamilanku di kantung baju tidurnya. Setelah sebelumnya ku persiapkan kejutan lainnya, makan malam dengan masakan spesial kesukaan mas Fariz yang kini telah terhidang rapi di meja makan.
               Tak sabar aku menunggu kedatangan mas Fariz, sudah ku tanya dia kapan akan pulang dari kantor dan dia bilang sebentar lagi. Jantungku berdetak lebih kencang, menunggu kedatangan sang pujaan hati tiba.
               Namun selang sejam dari kabar yang dia beritahukan mas Fariz tak kunjung datang. Timbul perasaan was-was takut terjadi apa-apa. Tanpa berfikir panjang langsung kuraih ponsel yang ada di sakuku dan ku hubungi mas Fariz.
               “assalamualaikum mas Fariz.” suaraku menyapa mas Fariz
               “Waalaikum salam dek, “ terderang suara mas Fariz di seberang sana.
               “mas kenapa sampai malam gini mas belum juga pulang” tanyaku merasa khawatir.
               “maaf dek, tapi mas ada tugas tambahan dari bos dan belum sempat mengabari adek. Maaf ya dek. Hmm mungkin sebentar lagi pekerjaan ini selesai dan mas bisa pulang. Maaf ya dek sudah mengkhawatirkan adek.” lembut suara mas fariz menentramkanku, membuatku tenang akan keadaan mas Fariz. Rupanya pekerjaan yang membuatnya terhambat pulang dari kantor, semoga dia baik-baik saja.
               “oh ya sudah mas, adek kira mas kenapa-kenapa. Adek sempat khwatir banget sama mas. Tapi sekarang adek sudah bisa lega tau mas baik-baik saja. Ya sudah kalau gitu, selamat bekerja, hati-hati dan cepat pulang ada sesuatu yang ingin adek berikan. Assalamualaikum mas”kataku mengakhiri pembicaraan
               “waalaikum salam, jaga diri adek baik-baik” suara mas fariz menutup telepon.
               Terdengar sedikit aneh, tak biasa-biasanya mas fariz berbicara sedatar itu. Seperti tak ada gairah. Sempat berfikir aneh, tapi segera kusingkirkan fikiran itu karena aku tak ingin merusak suasana dan aku sebagai seorang istri harus bisa berprasangka baik terhadap suaminya.
***

               “hallo bisa bicara dengan ibu mentari.” suara di seberang telpon itu membuatku penasaran.
               “iya benar, saya mentari. Ada apa ya pa...???? dan kenapa” tanyaku pada penelpon yang tidak ku kenal itu.
               “cepat segera ibu ke rumah sakit Medica, pa Fariz mengalami kecelakaan.”
               Deg. kenapa ini. Benarkah apa yang sudah aku dengar tadi. Mas Fariz, ada apakah engkau, kenapa engkau hingga seseorang mengabarkanku mas sudah di rumah sakit. Baru satu jam tadi kau berbicara padaku, berjanji akan segera pulang setelah pekerjaan itu selesai. Tapi kenapa sekarang aku yang harus menjemputmu, dan itu di rumah sakit... ada apa denganmu mas.
***

               Kamar ICU itu terlihat lengah, senyap tak ada suara walau aku liat ada banyak orang di situ. Dan kenapa semua orang menatapku pilu, ada apa denganku. Salah satu rekan kerja mas Fariz yang kebetulan perempuan langsung memelukku erat, menangis di pelukkanku. Aku sungguh tak tau ada apa ini. Dengan suara yang masih terisak perempuan ini berbicara lirih. “ yang sabar ya mba mentari, mba harus bisa menerima ini semua.” Keadaan ini membuatku semakin tidak mengerti, sebenarnya ada apa.
               “ada apa ini.” tanyaku datar pada semua orang yang ada di situ. Ku tau perasaanku kini sudah tak menentu lagi. Namun semua hanya terdiam tak ada yang berani menatapku, semua hanya larut dalam kediamannya itu. “ada apa ini, cepat katakan”tanyaku sekali lagi dengan nada agak keras.
               “ada apa dengan mas Fariz, kenapa mas Fariz. Kenapa semua diam. Cepat katakan.” ku goyang-goyangkan kerah baju lelaki yang ku tau adalah rekan kerja mas fariz, namun sekali lagi lelaki itu hanya diam saja. “ hei...ada apa...kalian itu tuli ya...kenapa semua diam”aku semakin tak karuan, berteriak-teriak bertanya pada semua orang yang membisu terpatung. Dan lagi-lagi perempuan itu memelukku. ”sabar mba, coba tenang” diucapnya lirih.
               Seketika itu aku lihat seorang perawat keluar dari ruangan ICU dengan mendorong ranjang yang di atasnya terdapat sosok manusia tergeletak dengan tertutup selimut putih. Tepat di hadapanku, selimut itu tersingkap seolah ingin memberitahukan siapa yang sedang diselimutinya. Terlihat wajah teduh, dengan raut ketenangan tertutup matanya. Masih terukir jelas senyum di bibirnya. Akupun mendekati sosok manusia itu.
               “siapa ini pa...kenapa mirip sekali dengan suamiku. Kenapa dengannya. ”tanyaku dengan polos, walaupun setetes airmata tlah mulai tumpah.
               Perawat itu hanya bisa diam, namun perempuan tadi membisikiku lirih, “ itu mas Fariz mba. Dia telah tiada. Mba harus tabah ya...” aku hanya terdiam, dan kupandangi lagi lekat sosok lelaki itu. Semakin lekat hingga tumpahlah sudah airmata yang sedari tadi aku tahan. Sosok itu, terlihat teduh dengan senyuman yang menghiasi wajahnya adalah suamiku, mas fariz yang kata perempuan tadi telah tiada.
               Ya Allah, kenapa ini...apa maksud ini semua. Seolah tak percaya aku peluk mas Fariz, kuciumi keningnya berharap dia bangun kembali. Tapi semakin ku peluk sosok itu hanya terdiam membisu. Ya Allah...suamiku tercinta..ada apa ini mas...mas fariz...kenapa engkau pergi begitu cepat, kenapa engkau meninggalkanku dan buah cintamu tanpa kau tau sebelumnya. Kenapa mas.
               Bulir-bulir airmata ini terus tumpah menyeruak membahasi wajahku, aku tak berdaya. Tubuhku terasa begitu lemas, ingin rasanya aku berteriak, tapi aku begitu lemah. Untuk berkata saja aku sudah tak sanggup lagi.
               Hari ini kusaksikan kejutan lagi yang kau buat untukku, tapi bukan kejutan yang buatku bahagia seperti dulu lagi melainkan kesedihan yang mendalam kau tinggalkan.
***

               Kecelakaan tragis yang membuat nyawamu tak bisa tertolong, membuatmu terpisah jauh denganku. Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat, padahal sebelumnya aku sempat berbicara denganmu. Kejutan ini, yang seharusnya kau tau tak sempat kuberikan. Buah cinta yanng kini ada dikandunganku semakin membesar, sama seperti perasaan rinduku terhapadmu yang semakin besar. Mas Fariz, kamu hadir saat ku tak punya cinta, tapi mengapa kau pergi saat ku mencintaimu. Selamat jalan Mas Fariz...hati ini akan selalu untukmu...dan akan kujaga buah cinta ini hingga kelak dia tau bahwa dia punya sosok seorang ayah yang sangat ibu cintai.

The End

Senin, 03 Desember 2012

akihiko

Dear Diary
Seribu tahun aku menunggu. Hari ini adalah dimana hanya selangkah lagi untuk menggapai impianku, tapi itu hanyalah sebuah impian belaka. Hatiku hancur berkeping-keping dan menjadi kepingan keegoisan. Impian ku hanya satu, aku hanya ingin kau tulus mencintaiku dari lubuk hatimu yang paling dalam. Aku ingin kau menerimaku apa adanya. Aku ingin kau biarkan orang berkata apa. Itu yang aku harapkan, Akihiko"
Aku meneteskan air mata saat aku menggores pena di buku diary-ku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bodoh dalam hal seperti ini. Yang aku lihat sekarang hanyalah, kepedihan dan air mata…


*Flash Back*
Bel tanda istirahat pun berdentang. Aku baru saja keluar kelas. Aku menunggu kabar dari wali kelasku hari ini. Aku mengikuti lomba essay sastra Jepang. Walaupun aku berharap aku kalah. Jika aku menang, aku akan ditransfer ke Amerika selama 3 bulan.
Aku berjalan menelusuri koridor sekolah yang ramai. Saat aku hendak berbelok, aku melihatnya bersama teman-temannya. Aku langsung bersembunyi di balik tembok dan mendengarkan percakapan mereka.
"Aki, aku tahu kau menyukai Kirijo-san bukan ? Aku pikir dia juga menyukaimu."salah satu temannya berbicara tentangku.
"Jika kalian berpasangan, hati-hati ya…awas dieksekus hii..hi..hi" teman yang lain melanjutkan.
"Tidak…siapa yang mau sama dia ? Udah galak, mukanya ngajak berantem.." aku kaget saat mendengar ia berkata seperti itu.
Aku langsung meneteskan air mata dan hatiku hancur. Aku pergi meninggalkan tempat itu saat itu juga…
*Flash Back End*

Aku berusaha untuk mencari udara segar. Karena hari ini hari Minggu, aku akan berjalan-jalan di sekitar Tatsumi Port Island. Aku cukup stress untuk memikirkan kejadian kemarin. Akhirnya aku menutup buku diary merah itu dan kubawa dengan tangan kananku. Saat aku keluar ruangan, aku melihat Fuuka keluar ruangan bersamaan denganku. Ia menyapaku, "Senpai…tanpa personaku, aku bisa menebak kalau kau sedang sedih. Ada yang bisa kubantu ?".
"Maaf Yamagishi…aku hanya butuh waktu sendiri." Jawabku. Aku tak mau semua orang tahu ini. Mungkin ini sepele, tapi bagiku ini masalah besar. Aku yakin sekali, dia juga mencintaiku. Setiap hari dia menatapku, dan 1 minggu yang lalu, dia menatapku dengan tatapan berbeda. Tatapan penuh…cinta. Dan aku yakin itu.
Aku menuruni tangga menuju lounge. Aku melihat Akihiko dan Arisato. Mengapa harus ada dia ? "Hey ! Mitsuru !" dia menyapaku, aku berusaha untuk tidak menoleh, tapi akhirnya aku menoleh, "Ada apa ?".
"Mau main monopoly bersama kami ?" Tanya Arisato.
"Maaf, aku sedang tidak ingin bermain" aku berjalan keluar asrama.
Sebaiknya aku menenangkan hatiku. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Naganaki Shrine. Aku menikmati udara pagi yang indah ini. Tapi pagi bahagia ini, telah memudar. Di pikiranku sekarang hanya ada satu, Akihiko. Entah kenapa, setiap aku berusaha untuk melupakannya, aku smalah semakin sulit untuk menghapusnya dari pikiranku.

Setelah aku sampai di Naganaki Shrine, aku berusaha untuk menenangkan diri. Aku menuliskan perasaanku pada diary yang aku bawa,
"Dear Diary
Setiap kali aku melupakanmu, kau muncul di benakku. Setiap aku berjalan di bawah sinar mentari, kau muncul di benakku. Mengapa ? Sulit untuk melupakanmu. Kau selalu adadi benakku. Aku selalu teringat akan kejadian yang membuatku meneteskan air mata kepedihan. Dipandang dekat, Dicapai tak dapat. Mungkin terlihat mudah untuk melupakanmu dari pikiranku, tapi itu tak semudah yang aku bayangkan. Melupakanmu bagaikan punguk merindukan bulan. Ya…sulit melupakanmu, karena aku masih mencintaimu, Akihiko"
Air mataku menetes di diary-ku. Kejadian kemarin masih terlintas di pikiranku. "Kakak, kok kakak nangis ? kenapa ?" Seorang anak perempuan berada di depanku. Dia memakai rok pendek, membawa tas, dan rambutnya dikepang dan diikat lagi.
Aku berusaha untuk tidak terlihat lemah di depan anak itu, "Eh, kakak gak apa-apa kok. Oh iya, mamamu mana ? terus namamu siapa ?"
"Namaku Maiko. Mamaku ? Mamaku kerja, aku sudah biasa kok, main sendiri disini. Kakak kenapa ? Kok sedih.." anak kecil itu memperkenalkan dirinya. Aku tak percaya, anak sekecil dia bermain sendirian di tempat sepi seperti ini. Apa dia tidak takut diculik ?
Aku menjawab, "Ah…kamu masih kecil. Ini masalah orang dewasa.".
"Tentang cinta ya ?" Maiko berusaha menebak.
"Loh…kamu tahu cinta ? masih kecil kok udah cinta-cintaan" aku tertawa kecil.
"aku tahu, cinta itu berkaitan dengan hati kan. Dan cinta tidak melihat penampilan. Dan itu terasa indah. Betul kan kak ?" Jawabnya.
Aku terkejut, melihat anak sekecil ini berbicara tentang cinta. "Oke…terima kasih ya, sudah menghibur kakak." Aku berpamitan dengan anak itu.
Aku pun berjalan meninggalkan Naganaki Shrine. "Kakak !" aku mendengar suara Maiko berteriak. "Diary kakak tertinggal !" Ya ampun ! Kebiasaan buruk ku kambuh lagi. Aku selalu meninggalkan buku harianku. Apakah ia membacanya ? "Tidak kok, aku tidak membacanya" Maiko tersenyum.
Apakah dia bisa membaca pikiran ? dan itu artinya dia bisa membaca perasaan ku hari ini ? Sudahlah, abaikan itu. Aku mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan Naganaki Shrine.

Aku kembali berjalan. Kali ini aku menuju Iwatodai Station. Mengapa ? Mengapa hanya aku yang merasakan kepedihan hari ini ? Apakah yang lain bersenang hati di atas penderitaanku ? Tidak, aku harus berpikir positive. Sulitnya untuk menghilangkan sifat keegoisanku. Sama sulitnya dengan melupakannya.
Aku duduk di kursi panjang di Iwatodai Strip Mall. Aku mulai menggoreskan penaku,
"Dear Diary
Mengingat kejadian kemarin, aku mulai berpikir. Aku merasakan sulitnya untuk melupakan seseorang yang kita cintai. Tapi, apakah dia juga merasakan hal yang sama ? Apakah dia sulit untuk menerimaku ? Ya…dia benar. Aku tak pantas untuk di cintai. Aku tak pantas untuk di kasihi. Akihiko, sebegitu sulitkah kau membuat ruang untukku di hatimu ?"
Aku menutup diary-ku. Aku menatap sekitar. Andaikan dunia merasakan kepedihanku. Sekali lagi, aku meneteskan air mataku. Tiba-tiba, seseorang memberikan sapu tangan kepadaku. Ia berkata, "Jangan menangis anak muda, kau terlihat jelek jika kau menangis.."
Seorang kakek berdiri di sebelahku dan mulai duduk. "Terima kasih kek…" aku mengusap air mataku.
"Kau tahu, aku bisa menebak. Tangisan mu itu karena patah hati kan ?" kakek itu mulai menghisap pipanya. Dia melanjutkan kalimatnya, "Jangan sia-sia kan cinta. Yakinlah kepada dirimu…".
"Tapi bagaimana ? Aku tak tahu harus berbuat apa, aku lemah jika yang kita bicarakan ini tentang perasaan." Aku mendesah kecewa.
"Nak, dengarkan aku, petik hikmah dari ceritaku. Kau tahu, aku memiliki sebuah toko buku dan seorang anak laki-laki. Dia bekerja sebagai guru di sekolah di dekat daerah ini. Dia malu dengan kondisi ekonomi keluargaku. Sampai dia berani untuk mengolok-olok ku, tidak pernah pulang. Aku yakin bahwa dia masih mencintaiku. Aku pun berbicara padanya dan dia minta maaf kepadaku. Sampai suatu saat, dia meninggal karena kecelakaan. Jadi lakukanlah, mintalah penjelasan kepadanya. Kau masih punya kesempatan nak, lakukan sebelum kau menyesal."
Aku berpikir sejenak soal itu. Kakek itu benar, aku harus lakukan sesuatu. Aku harus kuat, jangan hanya bisa menangis. "Terima kasih kek. Aku akan melakukan saran kakek. Aku pulang dulu ya kek" aku pamit kepada kakek itu.
"Eits…kau lupa bukumu." Kakek itu memberikan buku harian ku. Aku selalu lupa untuk membawa kembali buku ku. Bagaimana jika buku itu hilang ? Sudahlah. Aku mulai berjalan pulang.

Mulai sekarang, aku harus kuat. Aku bukan wanita cengeng yang hanya bisa merengek. Aku akan membuktikan, bahwa dia cinta kepadaku. Akihiko, janganlah kau sembunyikan perasaanmu. Aku yakin, kau masih cinta kepadaku. Terima kasih kek, telah menyemangati ku kembali. Jasamu tak akan aku lupakan.

Ini dia akhir dari chapter 1, tunggu kelanjutannya di chapter 2 ya ^^

                                                                                                                               cReaTeD
                                                                                                                           oDvan dHodeT