Rabu, 13 Februari 2013

Keep Istiqomah

Angin berhembus pelan menggerakkan daun-daun di pucuk-pucuk pohon. Suasana nan sejuk. Nampak sebuah bangunan megah berlantai dua, SMA Kusuma Bakti.
Siang nan lengang, anak-anak sekolah terlihat keluar kelas untuk istirahat siang. Akupun melangkahkan kakiku menuju kantin sekolah. Tapi aku terkejut melihat seorang anak gadis di tengah lapangan basket.
“Please…! look at me…! hi boys… please…! look at me… i’m beautiful…” teriak  gadis itu mengusik suasana damai di siang hari. Tapi tak seorangpun mau memperhatikannya.
“Ya Allah…!” aku memegang tangan gadis itu dan membawanya pergi.
“Nis… jangan ditarik-tarik begini…” teriaknya.
“Zahro, kamu tu dah gila ya? Kenapa kamu teriak-teriak ngobral diri,  mang kamu barang dagangan?” tanyaku ketus.
“Nis… aku pingin punya pacar…” jawabnya polos.
“Iya… aku tahu, tapi bukan begini caranya”
“Lha, trus gimana?”
“Ya… sabar, aku pikir dulu”
“Tapi cepet…!!! Kalo mikirnya lama, sama juga boong”
“Iya… Bawel banget sih… abis pulang ke sekolah aku tungguin kamu ditaman”. Dia hanya tersenyum terus berlalu.
Aku geleng-geleng kepala, temanku yang satu ini benar-benar tomboy, nggak punya malu. Namanya indah, Alfu Zahro’ atau seribu bunga. Kulitnya putih, rambutnya hitam tergerai. Penampilannya sangat modis, wajahnya mengingatkanku pada Lindsay Lohan, seorang aktris cantik hollywood. Dia bukan anak miskin, keluarganya bercukupan. Tapi kenapa…? Tak seorangpun cowok disekolah ini mau jadi pacarnya.  Jangankan si Ferdy, yang ganteng dan jago basket… si Udin yang wajahnya dibawah standar itu tak mau pacaran dengan Zahro’.
“Ah… Tak tahu kenapa…?” Banyak tanya yang bergelayut didalam hatiku tentang Zahro’.
***
   Burung-burung berkicau diatas pohon, melagukan harmoni yang indah. Matahari bersinar tak begitu terik, sehingga aku benar-benar nyaman duduk ditaman ini. Apalagi angin bertiup sejuk. Tapi hatiku sebel… sudah lebih seperempat jam aku menunggu Zahro’ tapi kenapa belum kelihatan juga batang hidungnya. Kemana tu anak? Anak itu kalo janjian mang suka ngaret…
“Ih…” kalo datang bakal tak berondong makian.
“Sebel bangeeet…” umpatku.
Tiba-tiba ku dengar suara mendekat.” Itu pasti dia. Awas… ya…!” aku menoleh… mang benar dia… kulihat wajahnya biasa, tanpa merasa bersalah.
“Halo Nisa… maap ya…! terlambat, tadi jalannya macet” terdengar kata-kata konvensionalnya. Gak mutu…!
“ughhh… jalannya macet ya? Kenapa nggak bilang kalo kamu tu suka ngaret kalo janjian…” aku mau marah, tapi coba kutahan. “Iya… maap… cepetan! Katanya mau kasih cara buat dapat cowok”. “Aduh… anak ini… benar-benar nggak punya perasaan, datang-datang langsung nodong” batinku.   “Iya, makanya aku ngajak kamu kesini tu ya untuk bantu kamu”.
“Cepat! Katakan caranya… nggak usah pakai basa-basi. Katakan! Bagaimana caranya Nis?” buru dia tidak sabar.
“Tenang donk…!”. Aku mengambil bungkusan yang kubawa tadi dari rumah, kubuka dan kuberikan pada Zahro’.
“Inikan… jilbab…? mang cari cowok pakai jilbab?” tanyanya nggak percaya.
“Wajahmu tu genit banget, kalo pakai jilbab kan terlihat feminim. Kamu nggak tau sih… Orientasi cowok sekarang tu cewek feminim”.
“Coba kamu pakai dulu! Biar aku lihat wajahmu”. Dengan ragu-ragu akhirnya dia memakainya  juga. “Gimana, cantik nggak?”. Aku takjub. “Subhanallah… Kamu cantik banget Zahro’, wajahmu mirip Zaskia Adya Mecca” gumamku. Zahro’ hanya tersenyum.
“Tapi sekian lama kamu makai jilbab, kamu juga nggak punya pacar Nisa…”. Aku terdiam sesaat . aku tahu dia akan bertanya seperti itu. Aduh, pertanyaan yang sulit kujawab. Ku kumpulkan keberanianku, kuatur kata-kataku, semoga kamu nggak marah Zahro’. Aku nggak berniat menyakiti hatimu. Ya Allah… aku berniat dakwah.
“Ehmm… ya, karena dalam islam pacaran itu haram” ucapku tegas. Mendengar kata-kataku, Zahro’ menunduk, tiba-tiba dari sudut matanya menngumpal butiran-butiran bening. Air matanya mengkristal, meleleh, membasahi pipinya yang putih.
“Afwan Zahro’, bukan aku melarang kamu pacaran, tapi mang karena Allah tu sayang ma kita…” jelasku.
“Terima kasih Nisa… Kenapa sih kamu selalu care sama aku?”.
“Quu angfusakum wa ahlikum naara… Kau adalah ahli-ku Zahro’, aku sayang sama kamu” aku tak bisa menahan tangisku. Zahro’ menghambur, lalu memelukku. Ia terisak dalam tangisannya.
“Sungguh… Dari dulu aku itu bingung dengan jati diriku. Aku itu bingung mencari identitasku… Hari ini kamu telah menyadarkan aku. Dan karena kamu telah meyakinkan aku, aku akan mengikutimu Nisa” ucapnya yakin tanpa keraguan sedikitpun.
Aku bahagia, seribu bunga telah kucium wanginya. Bibirku tak berhenti mengucap syukur… Alhamdulillah… Ya Allah kau tunjukkan Hidayah-Mu di hatinya…” kami berpelukan dalam tangis kebahagiaan.
***
             Bel tanda istirahat berbunyi. Aku berjalan keluar kelas. Lalu ku rebahkan tubuhku di kursi tua—depan taman sekolah. Aku jadi leluasa memandang teman-temanku. Ada yang sedang mojok buat berduaan, ada yang sedang ngobrol. Ada juga para cowok yang sedang main basket.
Aku teringat Zahro’ sudah tiga minggu ini dia pakai jilbab. Kalau sore juga sering bareng aku ke mesjid buat dengar pengajian. Wah… Benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Aku jadi teringat juga pada jilbab yang aku berikan dulu.” Ternyata jilbab ini memang pakaian yang dibuat oleh Allah untuk para akhwat” gumam ku pelan.
Bibirku mulai bergerak melantunkan ayat suci al-quran. Surat al-ahzab ayat 59. Kubaca berkali-kali sampai  aku benar-benar hafal diluar kepala beserta maknanya. Ayat itu isinya: perintah Allah kepada para akhwat untuk berjilbab.” Tapi akhwat sekarang yang munafik juga banyak” decak hatiku. Orang berjilbab itu orientasinya macam-macam, tidak semua ikhlas menjalankan perintah Rabb Allah Tuhan yang Esa. Aku teringat teman-teman akhwat di kompleks tempat tinggalku. Ada Asya, dia makai jilbab cuma buat kelihatan cantik, biar jadi perhatian sama ikhwan. Aku sudah pernah lihat dia ciuman didepan umum dengan pacarnya, meski dia pakai jilbab. “Ya Allah… Trus buat apa jilbabnya, kalau tangannya saja ia relakan dipegang oleh ikhwan non mahram” bisikku. Atau Karin yang makai jilbab cuma ikut-ikutan temannya. Kulihat kepalanya memang memakai jilbab, tapi… Masya Allah… celana jeans dan bajunya ketat, menonjolkan bentuk tubuhnya. Aduh… harusnya jilbab itu longgar. Aku juga kasihan liat si Siti tetangga depan rumahku. Karena ayahnya seorang Kiai, ia dipaksa memakai jilbab oleh ayahnya. Padahal dia tidak mau. Pernah aku tanya dia kenapa dia tidak mau memakai jilbab? Dia menjawab ketus; “Pakai jilbab itu gerah banget… lagian aku nggak mau disebut cewek sok alim, sok suci”. Hatiku miris mendengar kata-katanya. Apa ini yang disebut cewek modern? Tanyaku pada hatiku sendiri. Ada lagi yang lebih parah, namanya Vina, dia sekolah di Madrasah Aliyah. Dia memakai jilbab cuma formalitas, karena peraturan sekolahnya, bagi para akhwat wajib memakai jilbab. Dan kalau kesekolah, dia memang memakai  jilbab. Tapi begitu pulang, sampai rumah…? kalau dia main keluar rumah…? aku lihat dia memakai celana hotpants sama tanktop. “Sungguh ironis…!”. Aku menghela nafas dalam-dalam. “Ya Allah… Naudzubillahimin dzalik” batinku berteriak.
Aku juga pernah dengar statement dari seseorang, kenapa jilbab itu banyak dipakai akhwat di timur-tengah… Karena daerah disana, kata dia… adalah padang pasir yang berdebu. Untuk menghindari debu dibuatlah jilbab. Aku tertawa mendengar statementnya, lucu, bodoh dan nggak beralasan. Kalo memang berdebu, harusnya nggak cuma akhwat yang pakai jilbab, tentu ikhwan juga harus memakai. Tapi nyatanya…? Dia benar-benar nggak tahu perintah Allah.
“Hayow… ngelamun, mikir siapa?” Aku terkejut ketika pundakku ditepuk Zahro’ dari belakang. “Ah, kamu ngagetin aku aja…” ucapku tergagap. Kulihat Zahro’ dengan jilbabnya. Manis… Lalu dia duduk disampingku. “Wah, jam kosong Nis, tadi kudengar buguru ada acara keluar kota”. Aku tersenyum. “Wah, nggak ada kegiatan dong, ntar buat kegiatan ah…”
“Eh Nis, tau nggak…? si Kevin baru aja nembak aku tadi…”
“Wuiihh…! Kevin yang tajir itu, yang kalo berangkat naik mobil itu, yang anak pengusaha itu…?” tanyaku.
“Iya… Mang dia, sekarang Kevin, kemarin Ferdy, kemarin lagi…”
“Mang ada berapa orang sih Zahro’ yang nembak kamu? Tanyaku penasaran.
“Aku itung dulu… satu… dua… tiga…”. aku tersenyum lihat Zahro’ begitu serius menghitung dengan jari tangannya. “Ada enam Nis…” kata dia terlonjak.
“Wah… kok bisa ya…?” Kulihat wajah Zahro’, dia terdiam beberapa saat. “Mang ada yang salah dengan jilbabku ya Nis?” tanyanya.
“Nggak…! Jilbabmu dan pakaianmu syar’i kok” jawabku meyakinkan.
“Trus kenapa ya…? Banyak cowok yang pengen aku jadi pacarnya. Padahal dulu nggak?”
“Itu namanya ujian dari Allah, trus sekarang gimana?” pancingku agar dia mau jujur dengan hatinya.
“Ya… seperti katamu, KEEP ISTIQOMAH. Sampai ada yang datang mengkhitbah kita” ucap Zahro’ serius tanpa keraguan. Hatiku lega akhirnya. “Alhamdulillah… Beneran nih, enam—enamnya ditolak?”
“Ya… Iyalah, kan yang masuk surga aku… Katamu kalo yang Islam Cuma KTP-ku doang, ntar yang masuk surga KTP-ku, he..he..he..”. Aku ikut tertawa. Masih ingat juga dia dengan candaanku kemarin.
Aku lalu bangkit dan menarik tangannya. “Kalo begitu aku mau teriak seperti kamu dulu…” ku genggam tangan Zahro’. Kulihat dia kebingungan. “Lho… nggak jadi istiqomah?” tanyanya sambil setengah berlari. Aku dan Zahro’ sampai ke tengah lapangan basket.
“ Please…! look at me…!” teriakku.
“Hai… Nisa… jangan! Zahro’ hendak mencegahku.
Please…! look at me…! hi girls… please…! look at me… i’m beautiful…”
Kembali kulirik  Zahro’, ia tersenyum. Lalu ikutan teriak-teriak juga.
Please…! look at me…! hi girls… please…! look at me… i’m beautiful…”
Aku senang… akhirnya dia dapat memahami maksudku. Aku berharap akhwat disekolah ini mau memakai jilbab dengan syar’i untuk menjaga kesuciannya dan menjaga tingkah lakunya. Ikhlas, tulus dan sabar dalam menjalankan perintah Allah. Tidak riya’ dan yang lainnya. Dan sampai kapanpun dakwahku tak akan berhenti…

Jumat, 08 Februari 2013

kunang kunang di langit ibu kota

Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.
Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.
Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.
”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
***
”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”
Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”
Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.
Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.
”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.
”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”
Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka begitu beringas!”
”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah… lihatlah….”
Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.
”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia dengar teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.
***
Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”
Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.
Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”
Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.
***
Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”
Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.