Di hadapanku kini berdiri kokoh sebuah rumah dengan teras depan dan
pekarangan di sampingnya yang cukup luas, atap rumah yang sudah rapuh,
dinding rumah yang sudah retak-retak, dan tiga buah kursi bambu di
samping pintu masuknya. Duduklah seorang ibu dan anak perempuan di kursi
bambu itu, sepertinya anak perempuan itu seumuranku, mereka terlihat
sedang menanti dua orang yang akan tinggal di rumahnya untuk beberapa
hari. Ya, itu aku dan temanku, Monica. Kusapa mereka dengan ramah sambil
menarik koperku yang cukup berat, yang berisikan baju-baju dan
perlengkapanku selama tinggal dengan mereka. “Halo, selamat datang…
Siapa namanya?” sapa ibu yang duduk di kursi bambu tadi sambil
mengulurkan tangannya kepadaku. “Saya Tania, bu.. Ini Monica..” jawabku
sambil mengulurkan tanganku kembali kepadanya dan memperkenalkan temanku
yang berdiri di sampingku. “Halo... Nina…” suara anak perempuan itu pun
keluar sambil menyebutkan namanya. Namanya Nina. Anaknya hitam manis,
berambut hitam panjang sepunggung, dan senyumnya sangat manis.
Sekarang kami semua duduk di ruang tamu yang cukup
luas, dengan sofa-sofa mini mengelilingi sebuah meja persegi panjang.
Aku, Monica, dan Nina duduk berhadapan dengan Ibu Ani, ibu pemilik
rumah, yang akan menjadi ibu angkatku disini. ”Ibu punya anak mau 3,
yang pertama laki-laki sudah berumur 22 tahun, sekarang kerja di kota,
yg kedua Nina ini, seumur kalian, 17 tahun, yang ketiga masih di dalam
perut, nih, sudah jalan 7 bulan.” cerita Bu Ani tanpa ditanya. ”Bapak
kerjanya serabutan, ngurus kandang, jual beli sapi, jual beli kayu
juga.” lanjutnya. Perkenalan kami satu sama lain pun berlanjut di ruang
tamu itu. Lama kelamaan, aku yang tadinya merasa tidak nyaman di dalam
rumah itu, sekarang merasa diterima oleh keluarga mereka, dan aku merasa
sangat nyaman berada di tengah-tengah mereka. Tidak lama kemudian,
muncullah seorang bapak berkumis dari pintu belakang, berbadan kurus,
berambut tipis, menyapa kami. ”Halo... Ini anak-anak Live In itu yaa?”
tanya bapak itu sambil mengulurkan tangannya ke arahku. ”Iya, Pak..
Kenalkan, saya Tania..” jawabku sambil mengulurkan tanganku kembali.
Begitu juga dengan temanku. ”Nama saya Sujiyono, kalian bisa panggil Pak
Sujiyono..” katanya sambil menebar senyumnya ke arah kami.
Kulirikkan mataku pada layar handphone yang tergeletak di
sampingku. Pukul 6 pagi. Mungkin ini bangun terpagiku saat tidak
sekolah. Kuregangkan otot-otot tangan dan kakiku yang kaku selama tidur
semalam. Kubuka mataku secara perlahan, kupandangi langit-langit kamar
yang sudah kusam, kotor, dan dihiasi dengan sarang laba-laba di
sekitarnya. Kamar ini memang sangat asing bagiku. Inilah kamar yang akan
aku tempati selama 5 hari lamanya. Suara kokok ayam dan anjing yang
menyalak membuatku tersadar dari lamunanku dan bergegas bangun dari
penyanggah tempat tidur yang rapuh, dengan kasur tipis di atasnya.
Kubangunkan teman sekamarku yang masih terlelap di sampingku.
Kumasuk ke dalam kamar mandi yang sangat asing, dan
bisa dibilang tidak nyaman untukku membasuh badanku. Kamar mandi yang
usang, kotor, sarang laba-laba dimana-mana, ember-ember berserakan di
sekitarnya, sempat membuatku berpikir dua kali untuk mandi disini. Tapi,
apa boleh buat, kesehatan sangat penting. Kucoba untuk tidak
membayangkan dimana aku berada sekarang. Selesai kubasuh badanku, kubuka
pintu kamar mandi yang hanya terbuat dari seng, rapuh, dan kotor, dan
kulihat Bu Ani yang sedang sibuk memasak di dapur yang letaknya pas di
depan kamar mandi. ”Ibu masak apa?” tanyaku. ”Masak ayam goreng buat
makan siang kalian.. Kalian gapapa kan makan ayam goreng aja?” tanya Bu
Ani balik kepadaku sambil melihatku cemas. ”Gapapa, bu.. Ayam goreng
enak banget, kok! Saya suka banget ayam goreng. Makasih, ya, bu..”
jawabku cepat. ”Baguslah kalau begitu, ya sudah, panggil Monica, kalian
makan, yaa!” ajak Bu Ani.
Kupandang wajah Nina yang manis, sedang duduk di
hadapanku sambil memandang acara TV yang ditontonnya. Bisa kubilang Nina
ini anak yang multitalent. Bagaimana tidak? Ia jago menyanyi,
jago bermain keyboard, jago bermain gitar, jago menari, jago menulis,
dan ia termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Kuakui, aku sangat kagum
padanya. Sikapnya yang sopan dan ramah membuatku semakin dekat
dengannya. Kami menjadi sering bercanda, dan seringkali aku yang jadi
bahan candaan karena aku memang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa,
sementara orang-orang di desa sana semuanya berbahasa Jawa, dan terlebih
lagi temanku, Monica, berasal dari Jawa, sehingga aku semakin merasa
tersingkir oleh mereka yang sering mengejek-ngejekku dengan bahasa Jawa
yang sama sekali tidak kumengerti.
Hari ini aku ingin ikut bekerja bersama bapak. Tapi
sebelumnya, aku harus menemani ibu pergi ke pasar untuk membeli
kebutuhan dapur. Melihat ibu yang sedang hamil besar, akhirnya aku dan
Monica yang membawa belanjaan-belanjaan ibu. Yang kutangkap dari
kegiatanku ke pasar bersama ibu, ternyata Bu Ani sangat terkenal di desa
itu! Semuanya kenal dengan ibu angkatku itu. Bagaimana tidak? Ibu
ternyata sangat aktif di kegiatan-kegiatan desa, ikut rapat, dan
pertemuan-pertemuan, sehingga namanya sudah tidak asing lagi di telinga
para warga desa. Setelah pulang dari pasar, aku dan Monica pun
menghampiri bapak di peternakan miliknya yang terletak di belakang
rumahnya. Baru semeter jarak antara aku dan peternakan itu, bau
”menyengat” sudah tercium. Spontan aku menutup hidungku dengan sweater
yang kupakai pagi ini. Otakku langsung berputar membayangkan kesehatan
para warga disini bila mereka harus menghirup aroma seperti ini setiap
hari. Jangankan menghirup, bagaimana dengan bapak yang setiap hari
berada di peternakan dengan aroma yang pasti dapat dengan mudah menempel
di tubuhnya. Kulihat bapak di dekat tungku mendidih yang berisi makanan
untuk babi-babi. Sejujurnya aku sangat tidak betah berada disitu,
apalagi harus masuk ke dalam peternakan disambut dengan suara sapi,
babi, ayam, dan bebek yang sudah menjadi anggota peternakan itu.
”Beginilah pekerjaan bapak sehari-hari, setiap pagi bapak dibantu oleh
ibu memasak makanan babi disini, memberi makan mereka satu per satu,
lalu membersihkannya.” kata bapak sambil mengaduk-ngaduk isi tungku.
”Apa bapak nggak terganggu dengan bau yang seperti ini, Pak? Ini kan
nggak sehat.” tanyaku penasaran. ”Yaa mau gimana lagi, memang ini
pekerjaan bapak. Memang nggak sehat, sih, tapi ya mau ga mau harus
dijalani.” jawab bapak cepat.
Sore ini aku ingin ikut pergi ke sawah Bu Sum, tetangga
sekaligus saudara sepupu dari bapak angkatku. Harusnya aku ikut Bu Ani,
ibu angkatku, untuk ke sawah, tetapi karena ibu sedang hamil 7 bulan
saat ini, jadi ibu tidak boleh kelelahan, dan harus menghentikan semua
aktivitasnya sampai melahirkan nanti. Daripada aku berdiam di rumah
tanpa kerjaan, lebih baik aku ikut Bu Sum, melihat sawahnya. ”Waaah,
pemandangannya bagus sekali, ya, Bu.. Mana ada seperti ini di kota..”
kataku sambil memandang sawah Bu Sum yang hijau dan menghirup
dalam-dalam udara pegunungan yang bersih, yang tidak pernah kutemukan di
Bandung. ”Yaa.. Lumayan buat refreshing, kan... Ibu juga suka disini,
seger, bersih, hijau, bikin mata seger..” jawab Bu Sum sambil
mencabut-cabuti padi yang tertanam di tanah sawah yang hijau itu.
Sebenarnya aku masih ingin lebih lama lagi menikmati pemandangan sawah
Bu Sum, tapi hujan deras yang tiba-tiba, memaksa kami untuk segera
pulang.
Sampai di rumah, aku melihat Bu Ani sedang sibuk
mengerjakan sesuatu di rumah kosong, di sebelah rumah Bu Sum. Aku dan
Monica pun penasaran dan menghampirinya. ”Ibu...Lagi apa? Sibuk banget
kelihatannya...” tanyaku sambil melongokkan wajahku di depan pintu
rumah. ”Eh, kalian sudah pulang? Kehujanan, ya? Awas sakit, sini-sini
masuk... Ibu lagi bikin anyaman tas, lumayan buat ngisi waktu luang dan
nambah-nambah uang saku.” jawab Bu Ani sambil masih berkonsentrasi
menganyam tasnya. ”Ooh... Bagus, Bu, tasnya.. Ibu jual berapa satu
tasnya?” tanyaku penasaran. ”Satu tas harganya Rp7.500,00 saja.” jawab
Bu Ani singkat. Aku dan Monica langsung bertatapan kaget. Melihat Bu Ani
tidak mudah menganyam tas itu, dan tas itu sangat besar dan bagus,
sepertinya tidak cocok tas itu hanya dinilai Rp 7.500,00! Mungkin
untukku, sepeser rupiah itu sangat tidak berarti, dan sudah kulayangkan
begitu saja untuk kebutuhan yang tidak penting. Bahkan mungkin untuk
uang makanku saja kurang. Tapi, Bu Ani bisa begitu bijaksananya
menggunakan sepeser rupiah itu, bahkan menyimpannya untuk kebutuhannya
dan keluarganya. Ingin rasanya aku memukul kepalaku, agar aku sadar
betapa pintarnya mereka mempergunakan uang, betapa bijaksananya mereka
menghargai sepeser rupiah. Sedangkan aku? Orang kota yang bodoh!
Hari ini hari terakhirku tinggal bersama keluarga
angkatku. Aku ingin sekali bisa menikmati hari ini bersama keluarga
angkatku, bapak, ibu, Nina, dan eyang putri. Aku dan Monica pun
memutuskan untuk seharian berada di rumah hari ini. Bahkan, kami ingin
memasak untuk mereka. Memang bukan masakan istimewa, hanya indomie rebus
yang diracik dengan kuah bawang, dihiasi telur rebus, dan kol. Nina pun
ikut membantu kami memasak, dan kami sangat menikmati kegiatan kami di
dapur yang kotor, dinding dan lantai yang berwarna abu-abu semen, tanpa
cat. Kami tertawa bersama di dapur itu, bercanda, dan bercerita. Sangat
puas. Aku lebih merasa senang saat bapak dan ibu menyukai masakan kami
sampai menambah porsi makan mereka.
Pada malam terakhir ini, desa kami berencana melakukan
acara perpisahan dengan berkumpul bersama-sama. Kamipun pergi
bersama-sama dari panti asuhan, tempat kami mengajar anak-anak panti
asuhan selama 2 hari, menuju ke rumah salah seorang teman kami yang
berada di tengah desa. Kurangkul Nina yang tingginya seleherku,
kunikmati hari terakhir ini bersamanya, karena kutahu, akan sangat sulit
untuk kami bertemu nantinya. Sampai di rumah tempat kami berkumpul,
kami berdoa bersama untuk kepulangan kami esok hari, bersantap bersama,
dan tertawa bersama. Saat itulah kurasakan kebersamaan di antara kami.
Walaupun bisa dibilang kami semua disini baru saling kenal dalam
beberapa hari, tapi kami bisa sedekat ini sekarang. Kami berbincang,
tertawa, bercanda bersama seperti tidak ada perbedaan di antara kami.
Petikan gitar lembut dan suara merdu menghiasi malam itu. Nina dan
teman-temannya menghibur kami dengan musik dan suara mereka yang merdu.
Sangat merdu. Mereka memang anak-anak berbakat. Nina pun menyanyikan
beberapa lagu untukku dan Monica tanpa berhenti tersenyum. Kunikmati
setiap petikan gitar yang dimainkannya, setiap nada yang keluar dari
petikan jarinya, dan setiap lirik yang ia keluarkan dari mulutnya,
kusimpan suaranya dalam ingatan dan hatiku.
Malam terakhirku ini tidak ingin kulewatkan tanpa
kenangan. Aku dan Monica pun meminta ijin kepada bapak dan ibu agar kami
bisa tidur bersama mereka malam ini di ruang tamu, hal yang biasa
mereka lakukan sehari-hari. Ya, tidur di lantai, hanya beralaskan tikar
tipis yang sama sekali tidak membuat punggung empuk berada di atasnya.
Tapi, itu hal yang biasa mereka lakukan. ”Kalian beneran mau tidur di
atas tikar seperti ini? Nanti badan kalian sakit, mending kalian tidur
di kamar saja, kan ada kasur enak di dalam...” tanya ibu cemas, Nina dan
bapak pun ikut menatap kami dalam-dalam dan menanti jawaban kami.
”Nggak apa-apa dong, Bu... Pasti adem, deh tidur di bawah, daripada di
kasur, panas, ah...” jawabku meyakinkan, dibantu oleh Monica. ”Bener,
yaa? Karena ibu nggak mau nanti kalian sakit gara-gara tidur di lantai
seperti ini.” kata ibu lagi sambil merapikan tikar. Kurebahkan badanku
di atas tikar yang disiapkan oleh bapak, hal pertama yang kurasakan
adalah sakit dan keras. Tapi, kucoba untuk nyaman berada di atasnya.
Akhirnya, malam itu aku dan Monica tidur bersama Nina, bapak, dan ibu di
depan teve, beralaskan tikar, sempit-sempitan, susah membalikkan badan
ke kanan dan ke kiri, tapi kami menikmati malam terakhir itu. Kulihat
Nina terlelap pulas di sebelahku, dengan kepalanya menempel di pundakku.
Malam itulah mulai kurasakan bahwa aku sudah masuk ke dalam keluarga
mereka, dan mereka sudah memasuki hati dan hidupku. Mereka sudah
kuanggap seperti keluargaku sendiri, bapak dan ibuku sendiri, saudaraku
dan eyangku sendiri. Aku merasa sayangku kepada mereka sudah bertumbuh
semakin besar selama 5 hari ini. Mulailah terasa berat untuk
meninggalkan mereka besok.
Pagi ini kubangun dari atas tikar yang menemani tidurku
selama semalam. Memang punggungku terasa sakit, tapi tidak kuhiraukan.
Tak lama setelah aku bangun, ibu pun ikut bangun dan menyiapkan sarapan
untuk kami. Selesai packing dan sarapan, kami pun menyempatkan untuk
berfoto bersama sebagai kenang-kenangan untuk kami selama tinggal
bersama keluarga angkat kami. Akhirnya, waktu pulang pun tiba. Aku dan
Monica pun berpamitan kepada bapak, ibu, Nina, dan eyang yang berkumpul
di teras rumah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kami.
”Terimakasih, ya, Pak, Bu, karena bapak dan ibu sudah menerima kami di
dalam keluarga kalian selama 5 hari ini. Kami merasa sangat nyaman dan
senang bisa kenal dan hidup bersama keluarga kalian. Terimakasih juga
atas kerepotan-kerepotan bapak dan ibu dalam mengurus kami. Kami juga
minta maaf atas kelakuan tidak menyenangkan yang kami lakukan selama
kami tinggal disini. Semoga bapak dan ibu mau memaafkannya.” ucapku dan
Monica bersamaan. ”Iya, kami juga senang bisa kenal kalian, semoga
kalian tidak melupakan kami disini, ya..” jawab ibu merespon ucapan
kami. Setelah berpamitan dengan bapak dan ibu, akupun memeluk erat dan
mencium pipi eyang dan Nina. ”Nina, makasih, ya, buat semuanya. Semoga
kita tetep bisa berhubungan baik, ya..” kataku. ”Iya, sama-sama, makasih
juga udah nemenin aku selama disini.. Kita sms-an, ya, setelah kamu di
Bandung!” jawabnya. Akhirnya kami pun berpisah dengan penuh haru. Aku
merasa bahagia bisa kenal dengan keluarga Bapak Sujiyono, dan setelah
hari itu, mereka adalah bagian dari hidupku.
-END-