Jumat, 17 Desember 2010

-Meraka Bagian dari Hidupku-

Di hadapanku kini berdiri kokoh sebuah rumah dengan teras depan dan pekarangan di sampingnya yang cukup luas, atap rumah yang sudah rapuh, dinding rumah yang sudah retak-retak, dan tiga buah kursi bambu di samping pintu masuknya. Duduklah seorang ibu dan anak perempuan di kursi bambu itu, sepertinya anak perempuan itu seumuranku, mereka terlihat sedang menanti dua orang yang akan tinggal di rumahnya untuk beberapa hari. Ya, itu aku dan temanku, Monica. Kusapa mereka dengan ramah sambil menarik koperku yang cukup berat, yang berisikan baju-baju dan perlengkapanku selama tinggal dengan mereka. “Halo, selamat datang… Siapa namanya?” sapa ibu yang duduk di kursi bambu tadi sambil mengulurkan tangannya kepadaku. “Saya Tania, bu.. Ini Monica..” jawabku sambil mengulurkan tanganku kembali kepadanya dan memperkenalkan temanku yang berdiri di sampingku. “Halo... Nina…” suara anak perempuan itu pun keluar sambil menyebutkan namanya. Namanya Nina. Anaknya hitam manis, berambut hitam panjang sepunggung, dan senyumnya sangat manis.
                Sekarang kami semua duduk di ruang tamu yang cukup luas, dengan sofa-sofa mini mengelilingi sebuah meja persegi panjang. Aku, Monica, dan Nina duduk berhadapan dengan Ibu Ani, ibu pemilik rumah, yang akan menjadi ibu angkatku disini. ”Ibu punya anak mau 3, yang pertama laki-laki sudah berumur 22 tahun, sekarang kerja di kota, yg kedua Nina ini, seumur kalian, 17 tahun, yang ketiga masih di dalam perut, nih, sudah jalan 7 bulan.” cerita Bu Ani tanpa ditanya. ”Bapak kerjanya serabutan, ngurus kandang, jual beli sapi, jual beli kayu juga.” lanjutnya. Perkenalan kami satu sama lain pun berlanjut di ruang tamu itu. Lama kelamaan, aku yang tadinya merasa tidak nyaman di dalam rumah itu, sekarang merasa diterima oleh keluarga mereka, dan aku merasa sangat nyaman berada di tengah-tengah mereka. Tidak lama kemudian, muncullah seorang bapak berkumis dari pintu belakang, berbadan kurus, berambut tipis, menyapa kami. ”Halo... Ini anak-anak Live In itu yaa?” tanya bapak itu sambil mengulurkan tangannya ke arahku. ”Iya, Pak.. Kenalkan, saya Tania..” jawabku sambil mengulurkan tanganku kembali. Begitu juga dengan temanku. ”Nama saya Sujiyono, kalian bisa panggil Pak Sujiyono..” katanya sambil menebar senyumnya ke arah kami.
            Kulirikkan mataku pada layar handphone yang tergeletak di sampingku. Pukul 6 pagi. Mungkin ini bangun terpagiku saat tidak sekolah. Kuregangkan otot-otot tangan dan kakiku yang kaku selama tidur semalam. Kubuka mataku secara perlahan, kupandangi langit-langit kamar yang sudah kusam, kotor, dan dihiasi dengan sarang laba-laba di sekitarnya. Kamar ini memang sangat asing bagiku. Inilah kamar yang akan aku tempati selama 5 hari lamanya. Suara kokok ayam dan anjing yang menyalak membuatku tersadar dari lamunanku dan bergegas bangun dari penyanggah tempat tidur yang rapuh, dengan kasur tipis di atasnya. Kubangunkan teman sekamarku yang masih terlelap di sampingku.
              Kumasuk ke dalam kamar mandi yang sangat asing, dan bisa dibilang tidak nyaman untukku membasuh badanku. Kamar mandi yang usang, kotor, sarang laba-laba dimana-mana, ember-ember berserakan di sekitarnya, sempat membuatku berpikir dua kali untuk mandi disini. Tapi, apa boleh buat, kesehatan sangat penting. Kucoba untuk tidak membayangkan dimana aku berada sekarang. Selesai kubasuh badanku, kubuka pintu kamar mandi yang hanya terbuat dari seng, rapuh, dan kotor, dan kulihat Bu Ani yang sedang sibuk memasak di dapur yang letaknya pas di depan kamar mandi. ”Ibu masak apa?” tanyaku. ”Masak ayam goreng buat makan siang kalian.. Kalian gapapa kan makan ayam goreng aja?” tanya Bu Ani balik kepadaku sambil melihatku cemas. ”Gapapa, bu.. Ayam goreng enak banget, kok! Saya suka banget ayam goreng. Makasih, ya, bu..” jawabku cepat. ”Baguslah kalau begitu, ya sudah, panggil Monica, kalian makan, yaa!” ajak Bu Ani.
            Kupandang wajah Nina yang manis, sedang duduk di hadapanku sambil memandang acara TV yang ditontonnya. Bisa kubilang Nina ini anak yang multitalent. Bagaimana tidak? Ia jago menyanyi, jago bermain keyboard, jago bermain gitar, jago menari, jago menulis, dan ia termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Kuakui, aku sangat kagum padanya. Sikapnya yang sopan dan ramah membuatku semakin dekat dengannya. Kami menjadi sering bercanda, dan seringkali aku yang jadi bahan candaan karena aku memang sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa, sementara orang-orang di desa sana semuanya berbahasa Jawa, dan terlebih lagi temanku, Monica, berasal dari Jawa, sehingga aku semakin merasa tersingkir oleh mereka yang sering mengejek-ngejekku dengan bahasa Jawa yang sama sekali tidak kumengerti.
            Hari ini aku ingin ikut bekerja bersama bapak. Tapi sebelumnya, aku harus menemani ibu pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Melihat ibu yang sedang hamil besar, akhirnya aku dan Monica yang membawa belanjaan-belanjaan ibu. Yang kutangkap dari kegiatanku ke pasar bersama ibu, ternyata Bu Ani sangat terkenal di desa itu! Semuanya kenal dengan ibu angkatku itu. Bagaimana tidak? Ibu ternyata sangat aktif di kegiatan-kegiatan desa, ikut rapat, dan pertemuan-pertemuan, sehingga namanya sudah tidak asing lagi di telinga para warga desa. Setelah pulang dari pasar, aku dan Monica pun menghampiri bapak di peternakan miliknya yang terletak di belakang rumahnya. Baru semeter jarak antara aku dan peternakan itu, bau ”menyengat” sudah tercium. Spontan aku menutup hidungku dengan sweater yang kupakai pagi ini. Otakku langsung berputar membayangkan kesehatan para warga disini bila mereka harus menghirup aroma seperti ini setiap hari. Jangankan menghirup, bagaimana dengan bapak yang setiap hari berada di peternakan dengan aroma yang pasti dapat dengan mudah menempel di tubuhnya. Kulihat bapak di dekat tungku mendidih yang berisi makanan untuk babi-babi. Sejujurnya aku sangat tidak betah berada disitu, apalagi harus masuk ke dalam peternakan disambut dengan suara sapi, babi, ayam, dan bebek yang sudah menjadi anggota peternakan itu. ”Beginilah pekerjaan bapak sehari-hari, setiap pagi bapak dibantu oleh ibu memasak makanan babi disini, memberi makan mereka satu per satu, lalu membersihkannya.” kata bapak sambil mengaduk-ngaduk isi tungku. ”Apa bapak nggak terganggu dengan bau yang seperti ini, Pak? Ini kan nggak sehat.” tanyaku penasaran. ”Yaa mau gimana lagi, memang ini pekerjaan bapak. Memang nggak sehat, sih, tapi ya mau ga mau harus dijalani.” jawab bapak cepat.
            Sore ini aku ingin ikut pergi ke sawah Bu Sum, tetangga sekaligus saudara sepupu dari bapak angkatku. Harusnya aku ikut Bu Ani, ibu angkatku, untuk ke sawah, tetapi karena ibu sedang hamil 7 bulan saat ini, jadi ibu tidak boleh kelelahan, dan harus menghentikan semua aktivitasnya sampai melahirkan nanti. Daripada aku berdiam di rumah tanpa kerjaan, lebih baik aku ikut Bu Sum, melihat sawahnya. ”Waaah, pemandangannya bagus sekali, ya, Bu.. Mana ada seperti ini di kota..” kataku sambil memandang sawah Bu Sum yang hijau dan menghirup dalam-dalam udara pegunungan yang bersih, yang tidak pernah kutemukan di Bandung. ”Yaa.. Lumayan buat refreshing, kan... Ibu juga suka disini, seger, bersih, hijau, bikin mata seger..” jawab Bu Sum sambil mencabut-cabuti padi yang tertanam di tanah sawah yang hijau itu. Sebenarnya aku masih ingin lebih lama lagi menikmati pemandangan sawah Bu Sum, tapi hujan deras yang tiba-tiba, memaksa kami untuk segera pulang.
            Sampai di rumah, aku melihat Bu Ani sedang sibuk mengerjakan sesuatu di rumah kosong, di sebelah rumah Bu Sum. Aku dan Monica pun penasaran dan menghampirinya. ”Ibu...Lagi apa? Sibuk banget kelihatannya...” tanyaku sambil melongokkan wajahku di depan pintu rumah. ”Eh, kalian sudah pulang? Kehujanan, ya? Awas sakit, sini-sini masuk... Ibu lagi bikin anyaman tas, lumayan buat ngisi waktu luang dan nambah-nambah uang saku.” jawab Bu Ani sambil masih berkonsentrasi menganyam tasnya. ”Ooh... Bagus, Bu, tasnya.. Ibu jual berapa satu tasnya?” tanyaku penasaran. ”Satu tas harganya Rp7.500,00 saja.” jawab Bu Ani singkat. Aku dan Monica langsung bertatapan kaget. Melihat Bu Ani tidak mudah menganyam tas itu, dan tas itu sangat besar dan bagus, sepertinya tidak cocok tas itu hanya dinilai Rp 7.500,00! Mungkin untukku, sepeser rupiah itu sangat tidak berarti, dan sudah kulayangkan begitu saja untuk kebutuhan yang tidak penting. Bahkan mungkin untuk uang makanku saja kurang. Tapi, Bu Ani bisa begitu bijaksananya menggunakan sepeser rupiah itu, bahkan menyimpannya untuk kebutuhannya dan keluarganya. Ingin rasanya aku memukul kepalaku, agar aku sadar betapa pintarnya mereka mempergunakan uang, betapa bijaksananya mereka menghargai sepeser rupiah. Sedangkan aku? Orang kota yang bodoh!
                Hari ini hari terakhirku tinggal bersama keluarga angkatku. Aku ingin sekali bisa menikmati hari ini bersama keluarga angkatku, bapak, ibu, Nina, dan eyang putri. Aku dan Monica pun memutuskan untuk seharian berada di rumah hari ini. Bahkan, kami ingin memasak untuk mereka. Memang bukan masakan istimewa, hanya indomie rebus yang diracik dengan kuah bawang, dihiasi telur rebus, dan kol. Nina pun ikut membantu kami memasak, dan kami sangat menikmati kegiatan kami di dapur yang kotor, dinding dan lantai yang berwarna abu-abu semen, tanpa cat. Kami tertawa bersama di dapur itu, bercanda, dan bercerita. Sangat puas. Aku lebih merasa senang saat bapak dan ibu menyukai masakan kami sampai menambah porsi makan mereka.
            Pada malam terakhir ini, desa kami berencana melakukan acara perpisahan dengan berkumpul bersama-sama. Kamipun pergi bersama-sama dari panti asuhan, tempat kami mengajar anak-anak panti asuhan selama 2 hari, menuju ke rumah salah seorang teman kami yang berada di tengah desa. Kurangkul Nina yang tingginya seleherku, kunikmati hari terakhir ini bersamanya, karena kutahu, akan sangat sulit untuk kami bertemu nantinya. Sampai di rumah tempat kami berkumpul, kami berdoa bersama untuk kepulangan kami esok hari, bersantap bersama, dan tertawa bersama. Saat itulah kurasakan kebersamaan di antara kami. Walaupun bisa dibilang kami semua disini baru saling kenal dalam beberapa hari, tapi kami bisa sedekat ini sekarang. Kami berbincang, tertawa, bercanda bersama seperti tidak ada perbedaan di antara kami. Petikan gitar lembut dan suara merdu menghiasi malam itu. Nina dan teman-temannya menghibur kami dengan musik dan suara mereka yang merdu. Sangat merdu. Mereka memang anak-anak berbakat. Nina pun menyanyikan beberapa lagu untukku dan Monica tanpa berhenti tersenyum. Kunikmati setiap petikan gitar yang dimainkannya, setiap nada yang keluar dari petikan jarinya, dan setiap lirik yang ia keluarkan dari mulutnya, kusimpan suaranya dalam ingatan dan hatiku.
            Malam terakhirku ini tidak ingin kulewatkan tanpa kenangan. Aku dan Monica pun meminta ijin kepada bapak dan ibu agar kami bisa tidur bersama mereka malam ini di ruang tamu, hal yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Ya, tidur di lantai, hanya beralaskan tikar tipis yang sama sekali tidak membuat punggung empuk berada di atasnya. Tapi, itu hal yang biasa mereka lakukan. ”Kalian beneran mau tidur di atas tikar seperti ini? Nanti badan kalian sakit, mending kalian tidur di kamar saja, kan ada kasur enak di dalam...” tanya ibu cemas, Nina dan bapak pun ikut menatap kami dalam-dalam dan menanti jawaban kami. ”Nggak apa-apa dong, Bu... Pasti adem, deh tidur di bawah, daripada di kasur, panas, ah...” jawabku meyakinkan, dibantu oleh Monica. ”Bener, yaa? Karena ibu nggak mau nanti kalian sakit gara-gara tidur di lantai seperti ini.” kata ibu lagi sambil merapikan tikar. Kurebahkan badanku di atas tikar yang disiapkan oleh bapak, hal pertama yang kurasakan adalah sakit dan keras. Tapi, kucoba untuk nyaman berada di atasnya. Akhirnya, malam itu aku dan Monica tidur bersama Nina, bapak, dan ibu di depan teve, beralaskan tikar, sempit-sempitan, susah membalikkan badan ke kanan dan ke kiri, tapi kami menikmati malam terakhir itu. Kulihat Nina terlelap pulas di sebelahku, dengan kepalanya menempel di pundakku. Malam itulah mulai kurasakan bahwa aku sudah masuk ke dalam keluarga mereka, dan mereka sudah memasuki hati dan hidupku. Mereka sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri, bapak dan ibuku sendiri, saudaraku dan eyangku sendiri. Aku merasa sayangku kepada mereka sudah bertumbuh semakin besar selama 5 hari ini. Mulailah terasa berat untuk meninggalkan mereka besok.
            Pagi ini kubangun dari atas tikar yang menemani tidurku selama semalam. Memang punggungku terasa sakit, tapi tidak kuhiraukan. Tak lama setelah aku bangun, ibu pun ikut bangun dan menyiapkan sarapan untuk kami. Selesai packing dan sarapan, kami pun menyempatkan untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan untuk kami selama tinggal bersama keluarga angkat kami. Akhirnya, waktu pulang pun tiba. Aku dan Monica pun berpamitan kepada bapak, ibu, Nina, dan eyang yang berkumpul di teras rumah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kami. ”Terimakasih, ya, Pak, Bu, karena bapak dan ibu sudah menerima kami di dalam keluarga kalian selama 5 hari ini. Kami merasa sangat nyaman dan senang bisa kenal dan hidup bersama keluarga kalian. Terimakasih juga atas kerepotan-kerepotan bapak dan ibu dalam mengurus kami. Kami juga minta maaf atas kelakuan tidak menyenangkan yang kami lakukan selama kami tinggal disini. Semoga bapak dan ibu mau memaafkannya.” ucapku dan Monica bersamaan. ”Iya, kami juga senang bisa kenal kalian, semoga kalian tidak melupakan kami disini, ya..” jawab ibu merespon ucapan kami. Setelah berpamitan dengan bapak dan ibu, akupun memeluk erat dan mencium pipi eyang dan Nina. ”Nina, makasih, ya, buat semuanya. Semoga kita tetep bisa berhubungan baik, ya..” kataku. ”Iya, sama-sama, makasih juga udah nemenin aku selama disini.. Kita sms-an, ya, setelah kamu di Bandung!” jawabnya. Akhirnya kami pun berpisah dengan penuh haru. Aku merasa bahagia bisa kenal dengan keluarga Bapak Sujiyono, dan setelah hari itu, mereka adalah bagian dari hidupku.     

-END-